Akhir 2017 lalu, tertutup oleh hebohnya penayangan Star Wars: The Last Jedi, sejumlah film dengan kisah berkualitas tampaknya lolos dari percakapan khalayak. Salah satunya The Pirates of Somalia.
Film ini diangkat dari kisah nyata sepenggal episode kehidupan Jay Bahadur, terutama terkait pengalaman seru saat menulis buku The Pirates of Somalia: Inside Their Hidden World (di Inggris dan Austria diterbitkan dengan judul Deadly Waters: Inside the hidden world of Somalia's pirates). Buku ini melejitkan kehidupan Jared, pemuda usia 24 tahun (ketika 2008) menjadi penulis best seller.
The Pirates of Somalia menjadi sumber informasi penting tentang Somalia ketika kasus pembajakan ratusan kapal asing di perairan Somalia mengundang perhatian penduduk dunia. Kapal asal Indonesia, MV Sinar Kudus termasuk salah satu korbannya.
Bagi saya pribadi, film The Pirates of Somalia mendendangkan sejumlah pesan penting.
Pertama, jangan lepas mimpimu dan dedikasikanlah pada sesuatu yang lebih besar dari dirimu.
Selepas meraih gelar B.A. Political Science, Economics, and History dari Universtias Toronto, Jay Bahadur (diperankan Evan Peters) bekerja sebagai enumerator pada perusahaan survei pasar di Chicago.
Sejatinya Jay punya impian menjadi jurnalis. Karena saat itu ia berpikir untuk menjadi jurnalis harus menyelesaikan pendidikan khusus jurnalis, Jay merencanakan suatu saat setelah mengumpulkan cukup uang, ia akan belajar di Universitas Harvard.
Rencana ini berubah ketika Jay tak sengaja bertemu idolanya, Seymour Tolbin (diperankan Al Pacino) seorang jurnalis legendaris Kanada. Seymour bilang, bukan belajar melainkan "Kalau lu mau jadi jurnalis hebat, pergilah suatu tempat...menggila." Maka ketika tak sengaja menonton berita diTV tentang pembajakan kapal oleh bajak laut Somalia, kian bulat tekad Jay untuk berangkat ke Somalia. Jay sudah tertarik dengan Somalia sejak SMU dulu. Ia menulis makalah tentang demokrasi di Somalia.
Jay memutuskan mundur dari kantornya, mengumpulkan uang, berkomunikasi dengan awak media setempat dan segera berangkat ke Somalia dengan penerbangan paling murah dan lama.
Sampai di Somalia Jay sempat ketakutan melihat di mana-mana orang menenteng senjata. Tentara, polisi, juga milisi sipil. Kalau di Indonesia kita hanya melihat FPI bawa pentung, di Somalia orang-orang seperti FPI bawa senapan otomatis. Sudah pasti Jay ketakutan.
Jay bisa bertahan bukan hanya oleh keinginan kuat subjektif untuk menjadi jurnalis sukses. Ketika pertama tiba, Abdi (pemandu lokal yang kemudian menjadi kawan akrab Jay, diperankan Barkhad Abdi) bercerita bahwa para bajak laut itu tidak mau disebut bajak laut karena mereka sebenarnya nelayan yang menjaga pantai. Hal ini membuat Jay merasa punya panggilan untuk mewartakan kebenaran tentang apa yang terjadi di Somalia. Tekad ini bertambah kuat setelah Jay bertemu Boyah, bos bajak laut yang punya kode etik dan jiwa kemanusiaan tinggi.
Meski banyak dan berat tantangan selama tiga bulan tinggal di Puntland Somalia, mulai dari keterbatasan uang hingga risiko terbunuh, Jay akhirnya dapat mengumpulkan bahan-bahan untuk bukunya. Pada 2011, The Pirates of Somalia terbit dan laris terjual.
Jay berhasil meraih impian, menjadi jurnalis beken yang menulis untuk media massa ternama: The New York Times,The Financial Post,The Globe and Mail, dan The Times of London. Jay juga menjadi koresponden lepas CBS news dan penasihat pemerintah AS untuk isu bajak laut.
Kedua, jangan terlalu percaya sudut pandang arus utama
Dunia luar memandang mereka sebagai bajak laut. Demikianlah rekonstruksi media internasional dimamah biak publik. Jamaknya bajak laut adalah penjahat. Tetapi dunia tidak hitam putih. Orang-orang baik memiliki dark side, sebagaimana halnya orang jahat bisa berada di sisi the force.
Ketika menelusuri lebih dalam --tidak menerima begitu saja kesan umum dunia luar terhadap "bajak laut" Somalia-- Jay menemukan bahwa di antara para pemimpin "bajak laut" ada orang seperti Boyah. Dijuluki Robin Hood, Boyah dan 500-an anak buahnya tidak sekali pun membunuh penumpang dan awak kapal yang dibajak. Uang ganti rugi dari pembebasan "sandera" dan kapal dibagi-bagi kepada rakyat miskin.
Masuk ke dalam kehidupan kehidupan "bajak laut", termasuk ngegele bareng --di Somalia pakai daun khat-- membuat Jay mengetahui bahwa sebenarnya orang-orang itu adalah orang biasa, para nelayan yang frustrasi oleh perang dan kemiskinan, dan pada awalnya hanya hendak mengamankan kekayaan laut mereka dari pencurian oleh armada perusahaan penangkap ikan asing.
Sejatinya Somalia adalah masyarakat damai. Orang Mesir menyebut wilayah yang dikenal sebagai Somaliland ini sebagai negeri rempah. Klan-klan yang menghuni Somaliland terkenal dengan peradaban puisinya. Puisi menjadi alat utama mengatasi persaingan dan pertentangan antara klan. Itu sebabnya, Somalia juga dikenal sebagai a nation of poets.(1)
Lantas apa yang mengubah wajah negeri ini menjadi negeri pengungsi, kelaparan, perang saudara, dan bajak laut?
Akar panjang nelayan bersenjata di Somalia
Ulasan berikut go beyond the movie dan banyak mengambil data dari artikel "Colonization of Somalia" (Pennsylvania State University), "Somalia: Colonialism to Independence to Dictatorship, 1840-1976" (Enough Project), "Somalia: Fall of Siad Barre and the civil war" (World Peace Foundation). Sementara "Somalia: How Colonial Powers drove a Country into Chaos" (wawancara Gregoire Lalieu dengan Mohamed Hassan, ahli geopolitik kawasan Arab) cukup mempengaruhi persepsi artikel.
Penjajahan mengubah wajah Somalia, bermula sekitar 1840-1886 ketika asosiasi perusahaan Inggris mengadakan perjanjian dagang dengan para ketua klan di wilayah utara Somalia. Pada 1875, Mesir merebut sebagian wilayah utara namun diusir aliansi Prancis dan Inggris 5 tahun kemudian. Prancis lalu menguasai sebagian wilayah Somalia yang kemudian merdeka sebagai Republik Djibouti. Hampir bersamaan (1897-1908), Italia menancapkan pengaruhnya di wilayah Selatan Somalia. Pada 1897 Ethiopia mengambilalih Ogaden di bagian Barat.
Sebagaimana terjadi di hampir seluruh wilayah jajahan, politik devide et impera mempertajam persaingan dan pertentangan antar entitas, dalam konteks Somalia antar klan. "Colonial administrators established a patrimonial system of resource distribution, employed tactics of divide and rule along clan lines, and engaged in collective punishment of clans," bunyi artikel yang dipublikasikan World Peace Foundation.
Maka ketika para penjajah meninggalkan Somalia, jejak kotor mereka, persaingan antar klan, telah membatu, berubah menjadi konflik memperebutkan kekuasaan atas Somalia yang merdeka.
Aden Abdullah Osman Daar dan Abdirashid Ali Shermarke, presiden pertama dan kedua dari partai Somalia Youth League (SYL) memerintah Somalia dengan pola patronase klan. Keanggotaan partai-partai juga berkembang seturut relasi klan. Ketika pemerintahan Abdirashid kian korup dan kolutif, Mohamed Siad Barre, seorang perwira militer muda melakukan kudeta berdarah.
Siad Barre adalah rezim yang unik. Ia mengklaim diri sebagai seorang sosialis yang didukung Uni Soviet tetapi juga mendapat sokongan finansial dari Eropa dan Amerika Serikat. Siad Barre tidak sabar melihat perubahan, memilih menjalankan pemerintahan dengan gaya Stalinis Rusia, menjadi seorang diktator.
Pemerintahan Barre hanya mengakui satu partai, partainya sendiri, the Somali Revolutionary Socialist Party (SRCP) yang mengambil garis campuran antara Marxisme-Stalinis dan Alquran. Kepemimpinan partai dan pemerintahan berada di tangan the Supreme Revoluiton Council (SRC)--bubar pada 1976. Yang bikin tambah ruwet, alih-alih mengeliminasi fraksi-fraksi politik berbasis klan, Barre justru memberikan sogokan kekuasaan mengatur wilayah pedesaan kepada para tetua klan besar dan mempersenjatai milisi sejumlah klan yang mendukungnya.Â
Tentu saja di mana pun sosialisme coba dibangun tanpa demokrasi, dengan jalan Stalinis, di sana ada perlawanan. Demikian lah, demokrasi dan kesejahteraan adalah dua sisi sekeping kebutuhan dasar manusia yang tidak bisa dikorbankan salah satunya.
Pada 1977, Somalia melancarkan perang terhadap Ethiopia untuk merebut kembali wilayah Ogaden. Baik Uni Soviet, Amerika Serikat dan Eropa tidak menyetujui tindakan itu. AS dan Eropa menarik dukungan dana terhadap pemerintahan Barre. Di sisi lain, Uni Soviet memberikan bantuan persenjataan kepada Ethiopia, dan para revolusioner Kuba bahkan terjun langsung untuk berjuang bersama tentara Ethiopia.
Pemerintahan Revolusioner Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro dan Che Guavara memandang Barre sebagai seorang fasis, bukan sosialis. Setelah serangkaian pertemuan dengan Barre (Somalia) dan Haile Mariam (Ethiopia) untuk memediasi perdamian, Castro menyatakan, "I have made up my mind about Siad Barre, he is above all a chauvinist. Chauvinism is the most important factor in him." (2)
Barre kalah perang. Friksi pecah di internal angkatan bersenjata Somalia dan memuncak pada upaya kudeta. Barre membalasnya dengan pembantaian terhadap klan Majeerteen yang menjadi pendukung mayoritas Somali Salvation Democratic Front (SSDF), partai yang didirikan para perwira militer inisiator kudeta. Sekitar 2.000 orang anggota klan ini tewas.
Pada 1980 giliran klan Isaak di Barat Laut Somalia bangkit melawan. Klan ini mendirikan the Somali National Movement (SNM). Barre juga membalasnya dengan pembantaian besar-besaran pada 1988 dan terus berlanjut hingga 1990-an.
Pada 1989, klan Hawiye di wilayah Tengah Somali angkat senjata, membentuk The United Somali Congress (USC). Pada tahun yang sama, Somali Salvation Democratic Front (SSDF) yang didirikan klan Majeerteen kembali bangkit di Somalia Timur Laut. Setahun kemudian, warga klan Ogaden di wilayah Selatan menyusul dengan membentuk the Somali Patriotic Movement (SPM).
Kekalahan Barre bukan akhir petaka. Bencana lebih hebat sudah menanti.
USC terpecah antara cabang luar negeri yang mendeklarasikan Ali Mahdi Mohamed sebagai presiden dengan cabang dalam negeri yang memilih Jenderal Mohamed Farah Aydeed. Bukan sekedar perselisihan internal organisasi, perbedaan ini berkobar menjadi perang saudara berkepanjangan.
Sebagaimana Barre, kini USC dan SNF, dan organisasi politik klan lainnya bertindak membantai rakyat sipil (anggota klan rival politik) dalam perang memperebutkan kekuasaan. Pada masa ini klan Daarood --Barre merupakan anggotanya-- menjadi sasaran utama pengusiran dan pembunuhan. Tetapi anggota klan lain juga menjadi korban oleh pertarungan antara organisasi-organisasi politik berbasis klan yang memiliki barisan paramiliter itu.
Konflik berkepanjangan berujung pada kelaparan hebat yang melanda Somalia sejak 1992. Menurut Palang Merah Internasional (ICRC), jumlah korban meninggal oleh kelaparan --tidak termasuk pembunuhan-- sekurang-kurangnya 500 ribu.
Bencana kelaparan mendorong komunitas internasional mengirimkan bantuan kemanusiaan. Karena bantuan ini sering dirampok oleh milisi berbagai klan, Amerika Serikat bersama PBB memobilisasi angkatan perang untuk mengawalnya.
Salah satu kontak senjata hebat antara pasukan AS dan milisi Somalia dikenal sebagai Black Hawk Down Incident dan diangkat ke film layar lebar pada 2001.
Ketika pasukan AS-PBB (UNOSOM) akhirnya angkat kaki dari Somalia pada Februari 1995, mereka meninggalkan dendam di hati warga Somalia, juga sejumlah peralatan militer canggih yang dijual kepada milisi. Rakyat biasa di Somalia, para milisi dari klan-klan yang ada, termasuk nelayan kini memiliki senjata yang lebih hebat, warisan UNOSOM.
Meski setelah kejatuhan Barre ada 6 presiden dan 3 pejabat presiden Somalia, perang saudara berkepanjangan praktis membuat pemerintahan tidak berjalan. Somalia menjadi negara gagal. Pada periode ini, banyak negara memanfaatkan teritori laut Somalia secara ilegal, termasuk termasuk mencuri ikan.
Ketika negara tak hadir, rakyat mengambil tindakan sendiri. Para nelayan berinisiatif menjaga kedaulatan dan kekayaan laut Somalia. Dengan persenjataan yang dimiliki mereka menjadi bajak laut. Kekayaan yang diperoleh dari uang tebusan dan jarahan mengubah mereka menjadi seutuhnya penjahat, meski sebagian masih setia pada tujuan awal.
Apa pesan aktual untuk kita?
Kalau sekarang kita melihat fenomena kekerasan berbasis SARA yang diwakili oleh kelompok seperti FPI, kita perlu menelusuri akarnya lebih jauh, tidak serta-merta memandang kelompok itu mewakili wajah islam.
Kita perlu mencari tahu apa hubungannya dengan represi Orde Baru terhadap rakyat, termasuk terhadap kelompok Islam Politik. Apa hubungannya dengan euforia reformasi yang memungkinkan kelompok-kelompok yang dahulu ditindas kini memiliki ruang bebas untuk mengekspresikan aspirasi dan jati dirinya?
Apa hubungannya dengan pembentukan PAM Swakarsa --FPI di dalamnya-- oleh TNI (Operasi Mantap) atas perintah Pak Jenderal (mantan) Wiranto, dengan Kivlan Zen dan Adityawarman sebagai korlap ketika menghadapi gerakan mahasiwa 1999 dulu yang menolak sidang istimewa MPR, menuntut peradilan terhadap Soeharto dan pencabutan dwifungsi ABRI? Apa hubungannya dengan lepasnya "pembinaan" TNI atas kelompok ini setelah Gus Dur membubarkannya? Apa hubungannya dengan kehidupan yang semakin berat sehingga orang perlu berusaha dengan berbagai macam cara agar bertahan hidup? Apa hubungannya dengan kepentingan elit --sipil dan militer-- untuk menaikkan posisi tawar politik melalui mobilisasi paramiliter seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu perlu digali jawabannya untuk menilai secara tepat beragam fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi.
***
Tilaria Padika
Timor, 25/02/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H