Menceritakan pengalaman saya dihukum kemacetan Jakarta tidak akan dramatis sebab hanya sebulan sekali saya berhadapan dengan kemacetan Jakarta, yaitu ketika harus menghadiri rapat di head office, dulu selama 3 tahun menjadi kuli sebuah projek yang didanai sebuah Negara Pasifik. Adalah lebih menarik menceritakan mantan boss saya, lelaki 70an tahun yang sehari-hari berjuang melawan kemacetan Jakarta.
Dr. K, boss saya itu, seharusnya sudah pensiun dan menikmati hari tua dengan bersantai di rumah. Tetapi ia memilih bertahan dalam karir hingga usia melampaui 70an tahun.
Setiap kali saya berada di head office untuk pertemuan bulanan, selalu saja sebelum saya tiba, Dr. K sudah berada di kantor, menatap komputer jinjing dan memeriksa bahan-bahan yang akan dibahas dalam rapat.
"Sudah tiba sejak jam berapa, Pak?"
"Sebelum Jam tujuh, Mas. Setiap pagi begini."
"Luar biasa. Harusnya Bapak bisa pulang sebelum jam 5 agar adil."
"Pulang kan tetap harus jam 5, Mas."
"Bapak tidak lelah pagi-pagi sudah di kantor?"
"Justru supaya jangan lelah, Mas. Jika berangkat sebelum jam 6, saya bisa agak terhindar kemacetan. Kalau di atas jam begitu, selain terlambat, juga capek nyetir."
Dr. K mengendarai sendiri mobilnya, sebuah Mercedes merah berdesain sport. Meski bergaji tinggi, ia sangat berhemat, tak rela menggaji supir pribadi.