Jika kita menempatkan standard moral kita sebagai kebanyakan 'orang Indonesia' ke dalam diri Eddington, kita akan dengan gampang bersikap, "ngapain fasilitasi Einstein. Dia bekerja dengan Jerman yang menyebabkan saudara-saudara kita mati oleh gas khlorin. Penemu gas itu juga sama berdarah Yahudi dengannya. Bahkan seharusnya ia kita kebiri saja. Seribu nyawa saudara kita belum lunas oleh nyawanya."
Untunglah Eddington bukan kita. Baginya, teori Einstein sama halnya dengan teori siapapun, berhak dan wajib diuji kebenarannya sekalipun Einstein bekerja untuk Negara musuh, sekalipun Einstein satu etnis dengan Haber  yang menciptakan gas Khlorin dan menyebabkan kerabat Eddington tewas. Eddinton bukan orang cupet berstandar ganda. Ia memperjuangkan pendanaan bagi pengujian teori Einstein, bahkan mengujinya sendiri.
Di dalam filem, Â Eddington digambarkan berdebat dengan Oliver Joseph Lodge (pendekar bidang radio elektromagnetik yang sama saktinya dengan Herz, Maxwell, dan FitzGerald). Lodge jadi subjektif terhadap Einstein oleh karena putranya mati di medan perang dunia I. Kalau kematian Raymond Lodge, putra bungsu Oliver Lodge dalam PD I itu memang benar.Â
Tetapi saya tidak tahu mengapa Lodge yang pada masa itu sebenarnya rektor Universitas Birmingham bisa rapat bareng dengan Eddington yang professor dan kepala observatorium Universitas Cambridge. Malah di filem itu diceritakan bahwa Lodge yang menugaskan Eddington menyelidiki karya Einstein.
Eddington berhasil mendapatkan pendanaan untuk berangkat ke Principe, pulau di lepas pantai barat Afrika untuk memotret gugus bintang Hyades saat gerhana matahari total pada 1919. Pemotretan itu sangat penting untuk membuktikan apakah benar benda langit bermasa besar dapat membelokkan sinar sebagaimana salah satu prediksi Einstein dalam paper 1911, "On the Influence of Gravitation on the Propagation of Light" dan --disempurnakan-- 1915, "On The General Theory Of Relativity."
Hasil dari pengujian itu adalah Einstein benar. Matahari menyebabkan cahaya gugus bintang Hyades bergerak dalam lintasan melengkung. Itu artinya benar pula teori Einstein bahwa keberadaan benda langit pada semesta  ibarat massa materi yang diletakkan pada kain persegi, membentuk kain itu dengan kerutan-kerutan yang muncul. Kerutan-kerutan itu yang mempengaruhi gerak benda lainnya pada permukaan kain. Kerutan-kerutan itulah gelombang gravitasi yang pada 2015 berhasil dideteksi oleh Rainer Weiss, Barry C Barish, dan Kip S Thorne, dan pada 2017 ketiganya diganjar Nobel Fisika.
Anda bayangkan saja, jika dahulu itu Arthur Eddington seorang cupet dan berstandar ganda, maka tidak ada yang membuktikan pelengkungan cahaya oleh medan grativitasi yang disebabkan keberadaan materi; maka tak ada pula landasan bagi Weiss, Barish, dan Thorne menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mendeteksi keberadaan gelombang gravitasi.
***
Tilaria Padika
Timor, 10102017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H