Sementara kalian para pemudi, pernahkah kalian lihat ada sapi dan kambing yang mohon mengenali dulu calon pembelinya? Tidak! Karena itu, jika ada pemuda datang kepada ayahmu untuk melamarmu, jangan banyak ulah. Terima saja. Cinta perempuan itu sejatinya ketaatan dan pengabdian kepada suami. Cinta suami itu sejatinya tanggungjawab bikin kenyang istri-istri, dan sapi-sapi, dan kambing-kambing."
"Hentikan, Paman Bendo!" Joko Lanang, pemuda pemberani se-kampung yang juga keponakan Juragan Bendo itu tidak sependapat. "Paman sedang mengkotbahi kami dengan adat dan paham tua. Ini sudah bukan zamannya orang-orang bertindak kolot seperti Paman."
Ruangan tiba-tiba penuh dengung gumam. Kaum ibu sembunyi-sembunyi mengacungkan jempol ke arah Joko Lanang. Suami-suami mencibir.
"Hahahah, Engkau bicara tentang adat dan paham tua, Lanang? Waraskah dirimu? Buka matamu! Banyak hal di sekitarmu berjalan menurut adat dan paham tua. Lihat! Orang-orang masih setia dengan adat dan paham tua dalam berpolitik, dalam hidup sosial sehari-hari, bahkan dalam tata karma di media sosial yang kaupikir moderen itu. Mana lantang protesmu soal adat dan paham tua di sekitarmu itu? Hanya melawan pandanganku tentang perkawinan saja yang kaubisa?"
Joko Lanang merasa sia-sia berbantahan dengan sang paman. Ia  memilih keluar dengan langkah tegas tanpa menoleh lagi.
"Ah, ayo para kerabat, kini saatnya perjamuan makan. Lupakan tingkah kekanak-kanakan kemenakanku itu. Ayo Lastri, Minah, persilahkan tamu-tamu terhormat kita mengambil hidangan."
Kedua perempuan separuh baya itu bangkit lalu berjalan ke arah para tamu.
"Minah, sembunyikan rapat-rapat sesak di dadamu. Tunjukkan senyum terindahmu. Ingat! Suami adalah junjungan, jangan sampai kita membuatnya malu. Apalagi suami kita juragan, panutan masyarakat." Lastri berbisik kepada adik-berbagi ranjangnya.
"Iya, Mbak yu. Mbak yu juga mesti tabah ya."
Kedua perempuan itu tersenyum dengan mata dan bibir berbantahan.
***
Tilaria Padika
08102017