Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manusia Katak di Gugus Sabuk Api

4 Oktober 2017   23:31 Diperbarui: 5 Oktober 2017   01:03 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tiada seorang pun ahli biologi pernah meramalkan bahwa suatu masa dengan prasyarat tertentu manusia berevolusi menjadi katak. Demikian pula tiada seorang pun arkeolog dan sejarahwan pernah menemukan anomali ini dalam rentang peradaban manusia.

Namun demikianlah yang terjadi di gugus sabuk api, kepulauan indah yang terbentuk oleh tubuh dewa-dewi terbaring pada hamparan karpet litosfer Eurasia, tepat pada bagian bibir yang tiada jenuh bercumbu dengan lidah keping Australia yang basah. Sebuah keanehan, satu-satunya pernah terjadi, kini dan di masa yang akan datang, manusia-manusia bersaltasi menjadi katak."

Seperti biasa Profesor Linda, ahli biologi evolusioner terkemuka di kampus yang juga terkemuka itu menyampaikan materi kuliah dengan sangat indah.  Seperti biasa pula, Lambert tidak pernah sedikit pun melewatkan matakuliah evolusi. Menyimak Prof. Linda yang konon murid langsung Olivia Judson itu adalah satu-satunya alasan Lambert masih mempertahankan status mahasiswa abadinya.

"Tugas akhir sudah Engkau selesaikan. Hanya tinggal satu mata kuliah, Lambert. Sudah 6 semester, tidak terhitung sementer pendek kaugunakan hanya untuk matakuliah itu. Mama tidak mengerti, seberapa sulit itu bagimu?" bertanya ibunda. Pertanyaan yang sama setiap 6 bulan.

"Lambert janji akan selesai. Mama tenang saja."

"Tetapi kapan, Lambert? Semakin lama kautuntaskan studimu, semakin lama pula kautunda menikah. Menunda menikah itu tak baik untukmu. Bagaimana jika karena terus kautunda, p*juh-mu berubah menjadi jus melon. Mungkinkah asam amino jus melon bisa membuahi telur perempuan yang akan jadi istrimu?"

"Lambert akan selesai, Ma. Ketika tubuh Prof Linda sudah tidak lagi efektif menyerap beragam nutrisi; ketika jutaan mitokondria pada sel tubuhnya mengibarkan bendera putih dalam pertempuran melawan peningkatan entropi. Saat itu pinggulnya sudah bukan lekuk bukit-bukit karang di Wayag, Raja Ampat; dan bibirnya bukan lagi sepasang lintah sedang sanggama."

Lambert sendiri heran, tidak secuil pun presentasi Prof. Linda membekas di kepala. Padahal ia selalu sunguh-sungguh menyimak kuliah sang profesor. Setiap Prof. Linda bicara di depan kelas, mata Lambert enggan lepas dari indah bibir sang mahaguru menari, berceloteh tentang tubuh, tentang jaringan, tentang organ, tentang sel, hingga mitokondria. Tentang evolusi, tentang survival, tentang reproduksi, tentang adaptasi. Jika sesekali mata Lambert beranjak dari bibir itu, ia tidak akan jauh-jauh, paling-paling ke pinggul sang profesor, membayangkan bagaimana pinggul itu kelak membopong janin di dalamnya.

Lambert pernah membuat pseudo riset untuk menelusuri siapa sebenarnya Prof. Linda. Meski data-data yang dikumpulkan tidak mendukung, Lambert yakin betul pada kesimpulan yang selaras hipotesisnya bahwa Prof. Linda sebenarnya kembaran Im Jin-ah yang mungkin diculik saat masih janin oleh jaringan human trafficking dari perut ibu sejatinya di Chungcheong Utara lalu disembunyikan ke dalam rahim perempuan yang mengandung dan melahirkannya.

Kesimpulan riset itu melahirkan hipotesis baru bahwa Lambert adalah kembaran Jong Hyun. Tuhan telah melakukan sedikit kekeliruan dengan mengirimkan Lambert ke bumi 10 tahun lebih awal dan karena itu salah masuk ke kandungan Nyonya Pradigdo, perempuan yang pasrah menerima apapun pemberian Tuhan, termasuk beranugerah anak lelaki yang ia namai Lambert.

"Mama, tidakkah kau merasa bahwa aku seharusnya bukan anakmu?" Demikian yang selalu Lambert tanyakan ketika ibu-anak itu sedang duduk berdua menikmati indah kembang-kembang kamboja di kebun belakang rumah mereka.

"Yah, mama sering berpikiran demikian, Nak. Seharusnya kami tidak menggunakan kantung kresek sisa kemasan gorengan itu. Mudah sekali sobek. Tetapi mau bagaimana lagi? Ketika itu sudah pukul dua dini hari. Warung kecil yang buka di dekat motel itu hanya menjual fiesta rasa pisang berukuran XL. Sangat longgar pada pria yang kemudian menjadi ayahmu."

Lambert selalu menyesal sudah menanyakan itu. Tetapi esok atau pekan depan ia akan tanyakan lagi. Lambert hanya butuh satu pendapat untuk membenarkan dugaannya, bahwa ia seharusnya kembaran Jong Hyun. Jika demikian, Prof. Linda yang mestinya juga kembaran Im Jin-ah sudah seharusnya ditetapkan takdir untuk jadi kekasihnya.

"Ah biologi sungguh ilmu yang indah. Bagaimana bisa perempuan lajang usia 26 tahun itu menjadi professor?" Demikian kagum dan cinta Lambert pada Biologi.

"Bukankah manusia menjadi katak dan katak menjadi manusia sudah pernah terjadi? Itu ulah penyihir yang hendak mencegah takdir. Tetapi cinta selalu menyelamatkan. Hanya dengan sebuah ciuman panas dan tulus, katak akan berubah kembali menjadi pangeran." Seperti biasa, Lambert acungkan jari dan mengajukan pendapatnya. Itu pula yang ia sampaikan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya juga, segemulai langkah Lara Croft usai berlaga,  Prof. Linda mendekati Lambert. Lentik jemari profesor membenarkan kerah baju bekas kakak tingkat jauhnya itu, mengajak-acak rambut lelaki itu dengan lembut sambil menjelaskan, "Kak Lambert. Itu hanya dongeng yang dibacakan di atas ranjang menjelang tidurmu, berisi pesan moral agar hendaknya cinta dan kasih sayang tidak memandang status dan fisik, apalagi identitas ."

Lambert merasa trombositnya bergelinjang, menari dan bernyanyi suka cita di sepanjang arteri jika mendengar Prof Linda menyebut ranjang dan tidur. Ia juga punya firasat, cinta tidak memandang status dan fisik itu sengaja dilontarkan sebagai sandi untuknya, pesan yang menuntut keberaniannya melangkah lebih jauh.

"Profesor, usul saya sesekali kita kunjungi gugus pulau sabuk api untuk observasi." Lambert melangkah lebih jauh.

"Boleh. Kak Lambert mau Linda pesankan tiket?"

***

Sepekan lamanya Lambert dan Prof. Linda menetap di gugus pulau sabuk api, mengamati penduduk negeri yang telah ber-saltasi, mengalami loncatan evolusi (revolusi) menjadi katak.

Tidak seperti lazimnya katak, orang-orang itu masih tinggal di rumah manusia, di dalam kotak-kotak beton, bukan di atas daun teratai atau di dalam kolam berair hijau. Dari rumah masing-masing, tiap-tiap orang berseru-seru, berceloteh banyak hal tanpa henti. Mereka masih berbicara seperti manusia, tetapi tanpa henti seolah dengan cara itu mereka bernapas, dan oleh ramainya terdengar seperti suara nyanyian ratusan katak menanti hujan. Ada yang menguraikan argumentasi bahwa sebenarnya bumi itu datar; ada yang menyanyikan puji-pujian pada dewa-dewa perang, yang kekuasaannya mampu membunuh jutaan orang tanpa sedikitpun merasa bersalah; ada yang terus saja melontarkan caci maki pada tetangga yang berpose sembahyang berbeda. Semua ocehan itu terasa aneh bagi nalar manusia.

"Sejak kapan mereka mulai seperti ini, Profesor?"

"Ada penelitian mutahir yang menyimpulkan orang-orang ini mulai berevolusi menjadi katak ketika pengetahuan dan filsafat tertentu dianggap subversif dan buku-buku dibakar. Mereka lalu menggantungkan pengetahuan pada kutipan-kutipan sepenggal yang dikutip dan disetir sesuka hati oleh para mentor dan patronnya. Karena bergantung pada 'ilmu nguping', telinga mereka overburden dan akhirnya menjadi tuli. Demikianlah mereka bukan saja tidak lagi membaca tetapi juga tidak mendengar, dan karena itu tidak ada pengetahuan baru yang masuk, tidak ada kesadaran dan pemahaman baru. Itu sebabnya kita hanya mendengar celotehan basi, berulang-ulang, selamanya." Profersor Linda menjelaskan.

"Ayo Kak, kita pulang. Aku sudah nyalakan lilin aromatik di kamar hotel kita pagi tadi. Sudah cukup kita terkesima pada celoteh katak-katak dari masing-masing tempurungnya. Aku punya tempurung yang lebih indah untuk Kak Lambert observasi. Kakak sudah tak sabar, kan?"

Jika Anda berpikir Lambert dan Linda akan melakukan sesuatu seperti di dalam pikiran Anda, Anda salah besar! Perjalanan ke gugus pulau sabuk api, tanah air para katak di dalam tempurung rupanya menghasilkan penemuan lain, kesadaran baru tentang sejatinya Lambert dan Linda. Ternyata keduanya aseksual. Lambert hanya suka menatap Linda, menyusuri lekuk tubuh perempuan itu dengan pandangannya. Tidak Lebih dari itu. Demikian pula Linda terhadap Lambert.

***

Tilaria Padika

04102017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun