"Kamu tahu kan, Mah, seminggu sebelum bunuh diri Pak Kades berseteru dengan Kades tetangga? Kades kita menuduh proyek embung di desa sebelah itu merampas hak desa kita. Pak Kades kita menuduh Kades sebelah menyogok pejabat kabupaten sehingga proyek yang seharusnya untuk desa kita justru jatuh ke desa sebelah."
"Oh, jadi Kades sebelah yang meneror atau nyantet Pak Kades kita?"
"Sttts, bukan! Kamu dengar dulu."
Si istri diam. Mahmud melanjutkan.
"Kan waktu sampaikan hal itu di Musrembangdes, Pak Kades bawa-bawa nama papa. Kata Pak Kades ia tahu persis soal itu karena mendapat info valid dari papa sebagai komandan hansip dan papa melihat dengan mata kepala sendiri peristiwa sogok itu."
"Ah, itu kan sudah kamu ceritakan ke mama kalau tidak benar kamu yang kasih info."
"Betul, Mah. Nah, waktu dipanggil Pak Camat untuk dimintai klarifikasi, Pak Kades membujuk papa agar mau mengaku kalau benar papa yang sampaikan itu. Tetapi itu tidak benar. Papa tidak mau jadi tumbal."
Mahmud merogoh kantongnya, mengeluarkan sepucuk surat.
"Ini diberikan Pak Kades malam sebelum bunuh diri. Ternyata isinya surat permintaan maaf. Ia meralat pernyataannya, mengaku salah dan minta maaf kepada Kades sebelah, juga kepada warga desa kita."
"Lalu mengapa sampai bunuh diri, Pa?"
"Di surat ini Pak Kades katakan, sebagai ksatria, sebagai seorang pemimpin, ia merasa meralat pernyataan saja tidak cukup. Ia bukan saja malu karena sudah berdusta, tetapi lebih dari itu tindakannya telah menyebabkan keresahan dan perselisihan antar desa. Karena itu ia merasa bahkan mundur dari jabatan kades pun tidak cukup. Ia juga mundur dari kehidupan ini."