Dua meter lagi Tuan Kokoh menginjak tangga depan rumah ketika tiba-tiba Bu Anisa, calon kepala dusun pesaing pasangan Badar-Kokoh menyambutnya di depan.
“Aha, Tuan Kokoh. Angin apa meniupkan Tuan kemari? Saya ingin sekali berbincang dengan Tuan. Sayangnya saat ini waktunya kurang tampan. Di sini kami sedang merayakan haul almarhum Tuan Tohar. Tuan datang seperti hujan bulan Juni, sungguh tak dinanti.” Kata Bu Anis sambil menyalami Tuan Kokoh.
“Maaf, Bu Anis, saya juga mendapat undangan.”
“Ah, soal itu kesalahanpahaman, Tuan. Rupanya undangan yang sampai kepada Tuan itu salah tulis dari panitia. Saya diminta tuan pesta untuk menyampaikannya pada Tuan. Demi kepentingan Tuan sendiri. Malu sekali rasanya jika tuan diminta pergi setelah berada di dalam.”
“Baiklah jika begitu, Bu Anis. Sampaikan salam saya kepada keluarga almarhum. Selamat ulang tahun.” Tuan Kokoh segera balikan badan, berjalan pergi dengan langkah-langkah lebar. Wajahnya merah padam.
“Sial. Aku merasa seperti Anjing.”
“Bu Anis dan penjilat diktatur Tohar itu memang keterlaluan, Tuan. Mereka sengaja menyampaikan undangan untuk mempermalukan kita.”
“Bukan soal pengusiran itu, Joko. Tetapi soal kita berniat menghadiri acara ini. Demi suara, demi jabatan, aku jadi seperti orang tanpa prinsip.”
Di depan sebuah rumah, beberapa ekor anjing menggonggong dari balik pagar. Tuan Kokoh berhenti. Menatap kedua anak buahnya. “Kalian camkan, bahkan anjing pun setia pada tuannya. Itulah prinsip hidupnya. Kita baru saja mengkhianati rakyat yang seharusnya menjadi tuan kita. Masihkah kita merasa lebih mulia dari anjing-anjing itu?”
“Guk,” serempak Yono dan Joko menyahut membenarkan tuan mereka.
***