Ceria Jingles Bells dari tetangga depan rumah menggoda jemari menari ikut irama. Marlince di beranda sedang menenun, menyelesaikan sarung pesanan kerabat di kota. Tiba-tiba seorang pemuda datang.
“Adik Marlince.”
“Hei, Kaka Paul. Kapan pulang? Mari masuk dulu. Awiii, Kakak sudah jenggotan begitu e.”
“Eh, biar di teras saja, Adik. Beta sonde lama, mau kasih kabar dari Susilo.”
Marlince diam. Itu yang ia tunggu. “Kak Susilo sonde pulang sama-sama Kak Paul?”
“Dia belum bisa pulang. Sonde tahu kapan bisa. Makanya, dia minta Adik Marlince jangan tunggu dia. Adik menikah saja dengan orang lain.”
Marlince tertegun, lalu menggeleng. “Sonde, apa-apa, Kak. Beta tunggu Kak Susilo, sa.”
“Dia sudah menikah dengan perempuan Bugis, sesama TKI di sana, Adik.”
Marlince terkejut. Mulutnya menganga. Hatinya sobek.
“Beta hanya mau kasih tahu pesanSusiloitu saja, Adik. Beta pulang dulu.”
Paul berlalu. Marlince lari ke dalam kamar. Berhari-hari tangisannya terdengar. Sang ibu menemaninya, mencoba beragam cara untuk menghibur.