Masalah bullying muncul saat ia di kelas 1 SD.
Anak beta unik. Ia mengenal bahasa Inggris dulu baru bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa Indonesianya sangat formil dan tampak aneh di dalam percakapan lisan. Itu membuatnya sering diledek. Ketika ia mengeluhkan itu, kami menganjurkan untuk melaporkan kepada guru. Ia melaporkannya, tetapi guru sonde mengacuhkan.
Temannya kian kasar, mendorong dan menendang segala. Ia pernah membalas, temannya menangis. Guru memarahi anak saya tanpa terlebih dahulu bertanya. Guru yang letih sering kehabisan nalar dan kesabaran untuk berpikir jauh. Siapa yang menangis, itu lah korban.
Karena merasa lingkungan sekolah tidak bisa diharapkan, beta dan istri mendaftarkan anak berlatih bela diri. Setiap pagi kami membekalinya dengan pesan. Ingat, meledek dan memukul teman itu sangat tidak pantas. Tetapi jika ada teman yang memukulmu, pukul balas dengan lebih keras agar dia tahu perbuatannya menyakitkan. Jika guru memarahimu, katakan pada guru itu dengar dulu dengan adil penjelasamu atas duduk soalnya.
Suatu ketika, di kompleks rumah, teman-temannya bercerita putra beta menangis karena dipukul kawan sepermainan. Cerita itu dua hari setelah kejadian. Beta bertanya kepadanya dan dengan enggan Ia benarkan. “Mengapa tidak membalas?” Tanya beta. Sudah, katanya. Tetapi kakak lawannya, anak kelas 6 SD menendangnya di dada. Bayangkan, anak kelas 6 menendang anak kelas 1.
Beta tak bisa menahan amarah ketika tahu peristiwa itu terjadi di depan mata ibunda kakak-beradik pengeroyok. Ibu itu tidak berbuat apa-apa. Peristiwa serupa sering dialami anak-anak lain yang bermain dengan kedua anak itu.
Beta berubah menjadi Singa, Singa betina bahkan. Beta datangi rumah itu, menemui suami-istri dan putra mereka, kedua bocah tukang bully itu. Kepada kedua anak itu beta bilang, “Kalian sekali lagi suka kasar dalam bermain, Oom potong kaki tangan kalian.” Kedua orang tuanya beta ancam, “Eh china, anak jadi penjahat, kalian diamkan saja. Kalau terjadi lagi, saya bakar rumah kalian.” Kedua bocah itu menggigil ketakutan. Ayah-ibunya mohon maaf dengan wajah cemberut.
Sejak itu kedua bocah nakal tadi tidak lagi berani kasar kepada putra beta. Jika melihat beta lewat, mereka berlari masuk ke dalam rumah. Kata tetangga, mereka juga jadi lebih santun terhadap anak-anak lain. Beta berhasil menghentikan pelaku bully, tetapi beta kemudian menyesal karena caranya tidak tepat. Seharusnya beta mencoba cara lebih baik, sonde dengan mengancam dan mengeluarkan kata-kata rasis.
Deontologis Anis versus Konsekuensialis Ahok
Tindakan beta ini bisa dibenarkan jika menggunakan kacamata konsekuensialis, suatu aliran di dalam filsafat moral atau etik yang memandang bahwa benar atau tidaknya suatu tindakan bergantung pada konsekuensinya. Jika konsekuensi atau hasilnya baik, maka tindakan apapun untuk mencapainya baik adanya.
Tetapi jika menggunakan kacamata deontologis, tindakan beta salah. Dalam menilai kebenaran suatu tindakan, kaum deontologis memisahkan tindakan dari dampaknya. Meski dampaknya baik, jika tindakan salah, maka tetaplah salah tindakan itu. Mengancam orang dan mengeluarkan kata-kata rasis adalah tindakan yang salah meski tujuan dan hasilnya baik.
Kesalahan serupa dilakukan Pak Ahok, sebagaimana terungkap di dalam debat III. Resep Pak Ahok menghentikan bullying adalah mengeluarkan pelaku dari sekolah.