Karya-karya sastra sering dengan lihai memanggil kisah masa lalu, menghadirkannya sebagai cermin bagi peristiwa-peristiwa hari ini.
Kemarin, 6 Februari adalah hari lahir Pramodya Ananta Toer, begawan sastra Indonesia. Andai masih hidup, 92 tahun usianya kini. Beta memperingatinya dengan membaca kembali salah satu karya PAT.
Sepulang kerja, beta memilih acak salah satu novel PAT dari rak buku dan tenggelam di dalamnya sejak sore hingga dini hari.
Adalah Arok Dedes, novel pertama dari tetralogi yang hilang, tetralogi Pulau Buru yang lain.
Tidak seperti tetralogi Bumi Manusia, tetralogi Pulau Buru yang lain ini adalah rangkaian yang patah sebab novel kedua, Mata Pusaran hilang di tangan Orde Baru. Seharusnya tetralogi ini terdiri dari Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan ditutup dengan naskah lakon Mangir.
Arok Dedes menceritakan peristiwa politik, sebuah kudeta merangkak di Tumapel, wilayah taklukan Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Raja Sri Kretajaya.
Dengan tuturan menarik, PAT mengubah peristiwa yang diceritakan di dalam pelajaran sejarah SD-SMP sebagai peristiwa mistis ‘kutukan Mpu Gandring’ menjadi peristiwa politik ‘kudeta merangkak,’ pengambilalihan kekuasaan a la Jawa yang diyakini terjadi berulang sepanjang sejarah Nusantara, bahkan hingga zaman Indonesia modern.
Kita keluar sedikit dari novel ini untuk membantu melihat latar sejarahnya dari referensi lain.
Sri Kretajaya adalah Raja Mataram-Kediri dari wangsa Isana setelah penyatuan kembali Jenggala dan Kediri. Wangsa Isana itu sendiri dimulai oleh Mpu Sindok, yang memindahkan Ibu Kota Mataram Kuno (Medang) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Konon Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang berkuasa setelah Diah Balitung, pendiri Candi Prambanan.
Diah Balitung adalah wangsa Sanjaya. Kekuasaan wangsa Sanjaya sempat terinterupsi oleh wangsa Sailendra yang menganut Budha Mahayana sebelum kemudian Rakai Pikatan mengusir  Balaputra Dewa yang lari ke Sriwijaya.
Awalnya wangsa Isana adalah Saiwa (Hindu penganut Siwa), namun sejak masa kekuasaan Airlangga, putra dari Mahendradatta dengan Raja Bali Udayana Warmadewa, raja-raja Mataram (Kerajaan Kahuripan di masa Airlangga, dan Kediri setelah Panjalu dan Kediri kembali disatukan oleh Sri Jayabaya) beralih menjadi penganut Waisnawa (Hindu pemuja Wisnu).