Novel Arok Dedes menyinggung tiga hal yang terjadi di zaman Airlangga, selain soal pembangunan bendungan yang telah dikenal itu.
Pertama, Airlangga merombak sistem kasta atau wangsa di Mataram dari sebelumnya berbasis genetik menjadi berbasis dharma. Â Dengan begitu, seorang berdarah sudra dapat naik kelas menjadi ksatria atau bahkan brahmana. Sistem kasta juga disederhanakan menjadi triwangsa, dengan menghapus kasta waisyia sehingga tersisa brahmana, ksatria, dan sudra.
Kedua Airlangga menghapuskan perbudakan dan dengan demikian tiada lagi wangsa paria.  Ketiga, Airlangga diangkat dan mengangkat diri sebagai awatara Wisnu. Kitab Arjuna Wiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada 1035 sejatinya merupakan modifikasi epik Mahabrata dengan menjadikan Arjuna sebagai metafor Airlangga.
Pada masa Sri Kertajaya, empat generasi setelah Airlangga, Waisnawa telah menjadi agama resmi di Kediri.
Hal ini menimbulkan keresahan dan kebencian di kalangan para brahmana Saiwa. Ketegangan segitiga terjadi, antara para brahmana Saiwa, para raja dan pendeta Waisnawa, dan para biksu Budha Mahayana (termasuk Tantrayana). Selama 200 tahun lamanya para brahmana Saiwa menghabiskan waktu dengan merutuki kekuasaan raja-raja Waisnawa.
Kekuasaan bekas bandit bergelar Tunggul Ametung sebagai Akuwu Tumapel memperluas pertentangan. Demi mengumpulkan upeti untuk disetorkan kepada Sri Kretajaya di Kediri, Tunggul Ametung semena-mena membebankan pajak tinggi kepada rakyat Tumapel, bahkan memberlakukan perbudakan kerja paksa di tambang emas rahasianya, juga perbudakan terhadap perempuan sebagai selir-selirnya.
Tampil sebagai pahlawan, Temu, seorang pemuda berdarah sudra yang piatu sejak bayi dan diasuh sejumlah orang tua, mulai dari seorang petani-peternak, penjudi, biksu Tantri dan berakhir pada Dang Hyang Lohgawe, ketua perkumpulan brahmana Waisnawa. Dang Hyang Lohgawe inilah yang menggelari Temu sebagai Arok, dan kelak Ken Arok.
Sejak kecil, Temu telah memulai gerilya melawan Tunggul Ametung, merampok kereta-kereta berisi upeti dan menimbun harta hasil rampasan itu. Harta inilah yang kelak menggenapi 'empat kaki nandi' (teman, kesetiaan, harta, dan senjata) sebagai syarat kekuatan pemberontakan.
Maka ketika Dedes anak Mpu Parwa diculik Tunggul Ametung, sidang rahasia para bramana Saiwa terkemuka memberi restu pada Arok untuk memimpin menggerakkan empat kaki nandi, memberontak terhadap kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel dan selanjutnya terhadap raja-raja Wainawa di Kediri.
Di Tumapel berlangsung pertarungan banyak segi. Belakangka, pendeta resmi Tumapel sekaligus orang tempatan Kediri mencoba memanfaatkan Kebo Ijo, seorang tantama berdarah ksatria untuk menggulingkan Tunggul Ametung.
Di sisi lain, Kebo Ijo bersama sejumlah tantama yang benci pada status istimewa para pangeran anak selir (menjadi perwira kepala pasukan meski tak cakap perang) diorganisasikan secara rahasia oleh pengrajin senjata, Mpu Gandring untuk memberontak. Ketika Arok ‘menyusup’ sebagai berpura-pura membantu Tunggul Ametung membasmi kaum pemberontak (yang adalalah pasukan Arok sendiri), pertempuran senyap itu menjadi semakin bersegi banyak.