Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbangsa Itu Laksana Menikah

4 Februari 2017   21:56 Diperbarui: 4 Februari 2017   22:50 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul 03.13 WITA. Beta belum bisa tidur setelah menyelesaikan slide presentasi untuk pelatihan relawan pendukung pangan lokal yang akan dilaksanakan siang hingga sore nanti. Iseng, beta menonton tv, memilih sembarang kanal dan berhenti pada sebuah serial, Common Law judulnya. Meski tergolong serial tv lama, tayang perdana pada 2012 di USA Network, baru sekarang beta tonton.

Common Law adalah serial tv berjenre drama komedi. Tokoh utamanya adalah sepasang detektif Kepolisian Los Angeles, Travis Marks (Michael Ealy) dan Wesley 'Wes' Mitchell (Warren Kole). Keduanya bertugas di Divisi Pembunuhan dan Perampokan.

Common Law Sesssion 1 (entah episode barapa, saya lupa) ini menarik. Dikisahkan,  Wes dan Travis menginvestigasi kasus pembunuhan seorang perempuan yang diduga terkait dengan keterlibatannya di dalam situs kencan buta.

Ketika sedang melihat-lihat website kencan buta itu, Travis menemukan profil Alex MacFarland Mitchell, mantan istri Wes.  Travis mencoba menyembunyikan dari sahabatnya, tetapi perubahan ekspresi dan bahasa tubuhnya justru membuat Wes curiga dan berusaha mencari tahu apa yang disembunyikannya. Dengan triknya, Wes dapat merampas laptop Travis dan melihat apa yang coba Travis sembunyikan. Wes tertegun.

Keesokan harinya, seperti biasa, Wes berjumpa Alex. Meski sudah bercerai, keduanya masih berkawan baik dan kerab bertemu. Setelah basa basi yang biasa, Wes menyampaikan kecemasannya pada Alex tentang upaya kencan buta mantan istrinya itu, terutama soal risiko bahaya jika bertemu pasangan yang berniat jahat. Alex mengingatkan Wes bahwa mereka telah bercerai, ia punya hak untuk move on dan akan selalu berhati-hati.

Ada adegan menarik, yaitu ketika Travis, Wes, dan kawan-kawannya menjalani semacam group therapy. Mereka mempercakapkan mantan istri Wes yang mencari kencan buta daring dan bagaimana perasaan Wes terhadap itu.

Wes merasa sedih karena pada profilnya, Alex si mantan istri menulis jika ia tidak suka Jazz. Padahal selama bersama Wes, keduanya selalu pergi menonton Jazz.

Teman-temannya menanggapi jika itulah indahnya pernikahan. Ada yang mengatakan, pernikahan memang butuh sedikit kebohongan. Tanpa itu pernikahan akan bubar. Seorang teman yang lebih senior mengatakan, itu bukan kebohongan, tetapi semacam kepedulian atau keterlibatan.

Setiap rumah tangga tentu mengalami hal demikian. Sedikit white lie atau memang lebih tepat dikatakan toleransi.

Seorang suami tidak akan tega mengakui jika masakan istrinya tidak enak. Ia akan berpura-pura menikmatinya. Bukan karena takut dipelototi sang istri –meski sering juga ini salah satu sebab— tetapi lebih karena tidak tega melihat istri yang sudah bersemangat dan bersusah payah masak harus kehilangan kepercayaan diri. Demikian pula si istri akan berusaha meyakinkan diri sendiri, tentu saja juga pada suaminya, bahwa sang suami adalah yang terbaik untuknya, meski mungkin suami tetangga lebih memenuhi ideal-nya. Para pasangan akan saling mencocokkan kegemarannya, berusaha untuk ikut menikmati kegemaran suami atau istri tercinta.

Semua itu dilakukan demi keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga.  Benarlah perkataan, mereka tidak lagi dua melainkan satu.

Lihat, bukankah begitu pula kehidupan berbangsa itu? Berbagai macam etnis, beragam agama, berbeda-beda, bahkan sering bertentangan nilai dan kebiasaannya.  Tetapi ketika yang berbagai-bagai, berbeda-beda, dan bertentang-tentangan ini bersatu sebagai sebuah bangsa, mau tidak mau mereka harus saling memahami.

Memahami bukan di dalam makna mengetahui mengapa etnis A kebiasaannya begini, mengapa agama B kepercayaan dan tata perayaan agamanya begitu. Memahami di dalam makna menerima kenyataan bahwa memang sudah demikianlah suku C atau agama D seharusnya berperilaku dan menjalankan keyakinannya. Memahami di dalam makna menerima dengan lapang dada bahwa hidup bertetangga dengan mereka yang berbeda karakter, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan adalah hal yang alamiah. Suka atau tidak suka, kita telah menjadi saudara sebangsa, maka terimalah perbedaan-perbedaan itu.

Di dalam sebuah pernikahan, suami atau istri tidak lagi menjadi dirinya sebagaimana ketika masih sendiri. Ketika bujang, seorang lelaki mungkin gemar membelanjakan malam dengan berkumpul bersama kawan-kawan dan pulang ketika matahari terjaga. Demikian pula seorang perempuan mungkin saja dahulu super gaul, memiliki banyak kawan, sebagian besar lelaki, kerap bepergian bersama kawan-kawannya tersebut. Ketika telah menikah, kesenangan-kesenangan masa muda itu tidak pantas lagi dilakukan.

Demikian pula dalam berbangsa, ada hal-hal yang perlu kita kekang demi kebersamaan . Kita mungkin perlu menyampaikan kepada rekan se-iman tentang kebenaran-kebenaran ajaran agama kita dan mengeritik apa yang ‘salah’ dari ajaran agama lain, mengingatkan saudara-saudara se-iman agar tidak ‘terjerumus’ pada ‘kesalahan’ seperti itu. Demikian kebenaran subjektif yang kita yakini. Tetapi kita perlu mengekang diri agar tidak membicarakannya ketika sedang mencumbu microphone dan pengeras suara menerbangkan suara kita keras dan jauh hingga menyusup ke kamar tidur saudara sebangsa yang berbeda agama dan sedang kita kritik.

Ya, penerimaan pada perbedaan dan pengekangan diri untuk tidak selalu melaksanakan dan mendapatkan apa yang kita inginkan. Begitulah hidup berumah tangga, demikian pula hidup berbangsa.

Tentu saja ada hal-hal prinsip yang tidak bisa kita kompromikan. Istri tidak mungkin mentolerir kencendrungan play boy si suami. Mustahil seorang istri tiba-tiba berkata, “Papa sayang, sepertinya si cantik pedagang bakso di ujung gang itu mau kamu tiduri, lho. Kamu mau sore ini kuantar ke sana?  Kamu tidur deh satu dua shoot dengannya, mama tungguin di ruang tamu sambil baca majalah.” Demikian pula tidak mungkin seorang suami permisif pada kegemaran masa gadis istrinya, bermalam minggu di pub dalam balutan pakaian yang mempertontonkan pusar, mengantar istrinya ke sana lalu pulang membacakan anak mereka dongeng pengantar tidur sambil menunggu fajar untuk membukakan pintu bagi istri yang datang dengan aroma alkohol.

Demikian pula di dalam hidup berbangsa. Ada hal-hal yang patut dikompromikan, ada hal-hal yang harus tegas ditegakkan. Semuanya demi keberlangsungan bahtera rumah tangga bangsa. Bagaimana membedakannya? Gunakan nalar dan nurani kita. Tuhan melengkapi diri kita dengan itu bukan untuk dianggur.

***
Tilaria Padika
Timor, 04/02/2017
Baca: LALONG KADES
Arsip: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun