Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aduh! SBY Terjebak

2 Februari 2017   21:16 Diperbarui: 2 Februari 2017   23:33 4741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lu pakai  kancut biru, ya?”
Ah, enggak kok. Lu pasti ngintip ya?”
“Weh, enak aja, nuduh”
Kok lu tahu kancut gue biru?”
“Nah, benar kan, lu pakai  kancut  biru!”
“Eh, enggak. Gue nggak pakai  kancut  biru.”

Begitu yang terjadi jika polemik antara Pak SBY dan Pak Humphrey diproyeksikan pada percakapan dua remaja belia. Coba Kita bandingkan bedanya jika percakapan di atas menjadi begini:

“Eh, gue intip kancut lu.”
Ah, nggak mungkin. Warna apa coba?”
“Hmmmm biru.”
Tuh kan, salah. Gue nggak pakai kok.”

Pada percakapan pertama, si H, katakanlah demikian, menduga (atau mungkin memang tahu) kancut yang dipakai lawan bicaranya, katakanlah si S, berwarna biru. Si S coba menyangkal namun mungkin karena belum cukup minum air hari itu, justru terjebak membenarkan dugaan si H. Sementara pada percakapan kedua, entah si H cuma menduga atau memang mengintip, si S membantah jika warna kancut-nya biru (benar biru atau tidak, soal lain itu). Orang yang mendengar percakapan keduanya, pada kasus pertama akan tahu bahwa warna kancut si S memang biru. Sementara pada kasus kedua, meski benar berwarna biru, orang tidak akan bisa menyimpulkan demikian sebab si S membantahnya.

Inilah yang terjadi dengan gonjang-ganjing soal penyadapan yang bermula dari ruang sidang kasus dugaan penistaan agama oleh Pak Basuki alias Ahok itu. Dalam sidang pemeriksaan saksi Pak Ma'ruf Amin, juru bela Pak Ahok, Pak Humphrey, bertanya kepada Pak Ma’ruf Amin soal percakapan teleponnya dengan Pak SBY.

Saudara Saksi, apakah pada hari Kamisnya pertemuan dengan paslon nomor 1 itu, saat bertemu dengan paslon 1 itu hari Jumat tentunya sebelum salat Jumat. Ada telpon dari Pak Susilo Bambang Yudhoyono jam 10.16 yang menyatakan adalah pertama mohon diatur supaya Agus Yudhoyono dan Sylviana diterima di kantor PBNU, kedua minta agar segera dikeluarkan fatwa penistaan agama yang diduga dilakukan oleh terdakwa?” Begitu kira-kira tiga kali pertanyaan yang diajukan Pak Humphrey kepada Pak Ma’ruf. Tiga kali pula dijawab tidak.

Pak Humphrey, dkk tampaknya dengan lihai mencoba menjadikan informasi yang mereka miliki –-yang mungkin karena sumbernya tidak bisa dijadikan alat bukti— agar menjadi fakta persidangan dengan memancing hal tersebut keluar dari mulut saksi, Pak Ma’ruf Amin. Jika berhasil maka hal tersebut akan memperkuat arah pembelaan mereka bahwa Pak Ahok dilaporkan bukan sungguh-sungguh karena menista agama melainkan karena ada pesanan politik.

Sayangnya, jawaban Pak Ma’ruf mengandaskan upaya Pak Humphrey. Tetapi rupanya keberuntungan kembali jatuh cinta pada Pak Humphrey setelah persidangan usai. Tiada disangka, Pak SBY marah-marah dan menuduh dirinya telah disadap. Sebagaimana politisi lihai, tidak lupa Pak SBY menyelipkan jap ringan ke istana, berharap mendapat perhatian Pak Jokowi, ia minta presiden turut bertanggung jawab.

“Aku tahu lho, kamu curhat ke mama semalam?”
Ah nggak mungkin. Aku bilang apa coba?”
“Kamu minta mama bantu jodohkan kamu dengan si dia, kan?”
Eeeehhh, kamu nguping ya? Ahhh, jahat, kamu nguping.”
“Eh, bukan. Aku diceritain mama.”

Seperti percakapan di atas kira-kira respon Pak SBY itu. Beliau terjebak untuk mengakui atau setidaknya membuat orang yakin jika percakapan itu sungguh terjadi. Pak SBY hanya bisa menuduh telah terjadi penyadapan jika isi percakapan yang disampaikan Pak Humphrey benar adanya. Padahal, jikapun isinya benar begitu, bisa saja Humphrey, cs mendapat informasi dari orang-orang yang berada di dekat Pak SBY dan Pak Ma’ruf ketika percakapan terjadi.

Pak SBY terlalu buru-buru di dalam merespon pernyataan Pak Humphrey sehingga kurang berhitung taktis. Seharusnya ia bantah saja, seperti Pak Ma’ruf membantahnya. Atau seperti yang sudah ia lakukan –tetapi menghilangkan soal sadap itu— yaitu membenarkan ada percakapan telepon tetapi isinya hanya membicarakan cuaca hari itu, apakah di PBNU hujan atau tidak, atau bercerita tentang bagaimana udara malam tadi di Cikeas, misalnya.

Tentu saja pernyataan Pak SBY merugikan dirinya. Pak Ahok bisa saja bebas gara-gara itu, dan peluang Pak Agus, putra tersayang Pak SBY untuk jadi Gubernur DKI kian tipis. Memang karena disampaikan di luar persidangan, pernyataan Pak SBY tidak jadi fakta persidangan. Namun hakim kan membaca berita pula. “Ooo jadi benar, kasus ini pesanan politik,” kata hakim mengangguk-angguk saat membaca koran pagi sambil menikmati kopi di beranda rumah. Maka hal itu turut mempengaruhi timbangan subjektif mereka, dan itu berarti tambahan skor untuk pihak Pak Ahok.

Sayangnya, harapan sebagian pihak jika tuduhan penyadapan dari Pak SBY itu menjadi serangan balik mematikan bagi kubu Pak Ahok, ternyata sekedar outball yang mengundang kecewa supporter. "Itu juga isu pengadilan, tanyakan ke sana, tanyakan. Yang berbicara tanyakan, jangan barangnya dibawa ke saya. Yang bicara itu isu pengadilan," ujar Pak Jokowi. Ah, Pak Jokowi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun