Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sinyal Bahaya di Balik Pernyataan Sri Mulyani

28 Januari 2017   18:49 Diperbarui: 31 Mei 2020   17:53 10529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ada sesuatu di balik pernyataan Bu Sri Mulyani,” jawab beta kepada pramugari yang bertanya mengapa senyam-senyum sendiri membaca koran. Beta selalu duduk di dekat jendela darurat setiap kali terbang, dan pramugrari selalu suka (dugaan beta) duduk di samping beta (jika kursi itu tak berpenumpang) setiap kali pesawat take-off atau berguncang hebat ketika menyelinap tumpukan awan kelabu.

Menarik bagaimana, Pak?” tanyanya.

“Nanti saja baca di Kompasiana. Besok pagi saya coba menuliskannya.”

Beta kembali menenggelamkan diri pada halaman surat kabar. Film pada layar di depan beta biarkan balik menonton beta. Si Pramugari sudah diam, entah sedang apa. Saat goncangan mereda, ia berdiri dan kembali asyik dalam rutin tugasnya. Adapun kejadian-kejadian atau percakapan lain tidak perlu ditulis di sini sebab mungkin saja istri tercinta beta (galak, lho) sedang membaca juga artikel ini (Kalem, Ma. Papa baik-baik saja. Luv U).

Maka beginilah pemenuhan janji beta kepada pramugari itu.

Konsumsi Domestik Diperkuat” sebab “Investasi Belum Bisa Diandalkan Jadi Mesin Penggerak Pertumbuhan” demikian judul dan subjudul berita pada Koran Jakarta (27/01). Itu berita tentang Forum Ekonomi di Jakarta (26/01) tempat Menkeu Sri Mulyani dan Menperin Airlangga Hartarto jadi pembicara. Disimak dari berita itu, kondisi ekonomi global masih melambat dan investasi di negeri ini tumbuh di bawah ekspektasi dalam enam tahun terakhir. Untuk menyiasati keadaan, sebagaimana disampaikan Bu Sri, pemerintah akan fokus untuk menciptakan kestabilan dan mengandalkan konsumsi domestik.

Apa yang disampaikan Ibu Sri merupakan catatan kaki dari prediksi dan harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 yang sebesar 5,1 persen itu. Selain bertumpu pada sumbangan konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi juga mendapat kontribusi penting dari belanja pemerintah. Tentang belanja pemerintah ini, tempo hari beta senggol dalam artikel “BPKB dan STNK: Harusnya Sekalian Naik 400%

Pada kesempatan ini, beta akan fokus mengobrolkan konsumsi rumah tangga. Tentu saja beta mengupasnya dengan keyboard awam, sebagai just blogger, sebagai kompasianer yang ramah mengupas segala sesuatu demi menjaga ritme posting artikel. Syukur-syukur jika bisa menggoda pembaca agar membelanjakan perhatian pada soal ini.

Apa yang menarik dengan konsumsi rumah tangga ini?

Konsumsi rumah tangga sangat penting bagi perekonomian. Dengan konsumsi rumah tangga, perusahaan atau industri dapat membalas pengeluaran mereka atas belanja faktor produksi, dan dengan begitu usaha layak untuk terus berdenyut. Faktor produksi itu sendiri dibeli dari rumah tangga, dibayar dengan upah, sewa, bunga, dan deviden.

Konsumsi rumah tangga menjadi semakin penting lagi ketika perekonomian melesu, yaitu ketika pelaku usaha menunda belanja modal sebab laju keuntungan bisnis (lajut akumulasi kapital atau rate of profit dalam terminologi ekonomi-politik Marxist) sedang menurun dan ekspektasi mereka atas kondisi di masa depan jauh dari optimisme Punguk merindu Bulan. Dalam kondisi seperti ini, menjaga (jika bisa meningkatkan) konsumsi rumah tangga akan menjamin kapasitas terpasang yang existing tidak terpangkas, mesin dari usaha-usaha yang telah ada tetap hidup, dan gelombang PHK terhindarkan.

Ringkasnya, meningkatkan konsumsi rumah tangga adalah upaya mencegah stagnasi berubah menjadi krisis. Stagnasi itu seperti influenza bagi perekonomian. Ia kerap terjadi, sering periodik seperti influenza kerap menyerang di pancaroba. Namun, jika stagnasi berpadu inflasi, menjadi stagflasi, ia malih ebola, meniupkan kematian massal dalam sekejap.

Bank dan Gerai Ritel Kian Murah Hati

Setahun terakhir ini, jika jeli mengingat kejadian-kejadian yang seolah-olah biasa, kita akan menyadari bahwa saban Jumat datang telepon dari pemasar kartu kredit agar kita jangan lewatkan kesempatan ‘kebaikan hati bank’ memberi kredit berbunga rendah bertenor panjang, atau mendapat tambahan plafon kredit. Di laman surat kabar, promosi potongan harga dan fasilitas belanja kredit berbunga rendah, bahkan nol persen, kian marak dari hari ke hari. Ada apa?

Kita sebenarnya sedang berada dalam orkestra menyelamatkan perekonomian. Mendorong konsumsi rumah tangga itu istilah lainnya adalah “mendorong orang lebih banyak belanja, kurangi menabung.’

Agar rumah tangga lebih banyak belanja, Bank –sebagaimana diharapkan oleh BI, sang konduktor— menurunkan suku bunga tabungan. Dengan bunga rendah, orang-orang memilih menarik dan membelanjakan uangnya, konsumsi pun meningkat. Di sisi lain, bunga kredit ikut turun sehingga pelaku usaha terdorong meminjam untuk berinvestasi.

Cara lain untuk mendorong konsumsi rumah tangga adalah memprovokasi dissaving, yaitu dengan kebijakan kredit yang ‘ramah’. Salah satu instrumennya adalah kartu kredit. Maka jangan heran jika kian sering kita mendapat telepon pemasar agar memiliki kartu kredit baru, menambah plafon, dan menggunakan dana yang telah dialokasikan untuk kita.

Bapak-Ibu, jangan lewatkan kesempatan emas ini, lho. Bank sedang berbaik hati, kalau mau belanja sekarang pakai kartu kredit, Bapak-Ibu boleh cicil di toko hanya dengan bunga 0,9% per bulan.” Pekan depan, “Bapak masih punya jatah dana sekian puluh juta yang belum terpakai. Diambil saja, Pak, mumpung kita kasih bunga super murah.” Jika Anda setuju, limit penggunaan dana menjangkau plafon, pekan depannya lagi Anda akan ditelepon, “Bapak beruntung. Sebagai penghormatan atas loyalitas Bapok menjadi nasabah, Bank memberikan kesempatan untuk menambah limit kartu kredit. Mau, ya Pak, mau ya?

Demikian pula gerai-gerai ritel modern mendadak beramai-ramai baik hati. “Ayo, mumpung diskon 30%.” Jika itu belum mempan juga, “Ayo, bukan cuma diskon, bisa nyicil juga dengan kartu kredit, tanpa bunga, 0% per bulan.” Orang berpikir ini kesempatan langka, ayo belanja sekarang. Lucunya ‘kesempatan langka’ itu seperti hujan Februari, datang terus, sangat sering hingga kita mengutuknya karena bosan. Pekan lalu kesempatan langka, minggu ini ada lagi kesempatan langka, pekan depan pun datang lagi. Ya, kelangkaan yang sering. Tampaknya KBBI harus direvisi, menambah arti langka dengan antonimnya.

Bank-bank pemberi kredit itu sedang memenuhi panggilan tugas. Pertama panggilan untuk survive, mempertahankan hidupnya. Investasi tidak bertumbuh, sebagaimana dikatakan Bu Sri, berarti tidak ada pengusaha yang membangun pabrik baru atau menambah mesin, maka tidak ada pengusaha yang mau meminjam uang di bank. Sayangnya, bank harus memutar uangnya agar ada profit untuk dipersembahkan sebagai deviden kepada pemilik modal, agar ada biaya membayar gaji direktur, teller, hingga satpam, dan agar ada margin untuk membayar bunga penabung? 

Kedua, panggilan tugas mulia menyelamatkan ekonomi kapitalis. Karena investasi sedang seret dan pertumbuhan ekonomi kini disandarkan pada konsumsi rumah tangga, maka rumah tangga harus diberi sebanyak mungkin insentif (juga disinsentif berupa bunga simpanan rendah) agar berbelanja. Dengan itu, para pengusaha yang sudah ada tidak gulung tikar, kapasitas produksi terpasang tidak berkurang. Tugas serupa sedang dijalankan toko-toko, jaringan-jaringan pemasaran ritel.

Bom Waktu

Konsumsi tidak selamanya dapat menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi. Tanpa investasi kembali bergairah, tidak ada pembelian barang-barang modal baru, tidak ada pembelian tanah untuk membangun pabrik-pabrik, tidak ada pembukaan lapangan kerja baru yang menampung angkatan kerja yang terus dilahirkan. Dampaknya akan kian banyak pengangguran, kian banyak orang tanpa daya beli. Keluarga-keluarga akan mengorbankan sejumlah item konsumsi mereka sebab bertambah banyak perut harus ditanggung tanpa pertambahan tangan yang berupah. Pada titik ini, perekonomian berada di persimpangan.

Cabang pertama menuju ke arah pemulihan perekonomian, yaitu momentum yang entah oleh apa menggairahkan kembali kepercayaan pengusaha untuk kembali berinvestasi sebelum usaha yang sedang berlangsung telanjur gulung tikar. Saat itu, siklus bisnis akan kembali berputar.

Cabang kedua menuju kepada kebangkrutan. Utang-utang kartu kredit harus dilunasi, cicilan rumah telah jatuh tempo, tetapi orang-orang telah kehilangan kemampuan untuk membayar. Apa yang didambakan sebelumnya sebagai bonus demografi ternyata berubah menjadi kutukan sebab orang-orang muda yang baru saja menceburkan diri sebagai bagian dari angkatan kerja baru tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. The reserve army of proletariat telah membentuk piramida demografi membuncit di tengah. Alih-alih menjadi bonus demografi sebagaimana diharapkan (komponen tengah piramida yang membuncit itu menanggung hidup generasi tua dan generasi yang baru saja meneriakkan tangisan pertama keluar dari rahim ibunya) sebaliknya justru angkatan tua, para pekerja di masa senja yang harus menanggung hidup orang-orang muda yang jumlahnya jauh lebih besar.

Ketika jalannya sejarah perekonomian berbelok ke cabang kedua, tiada gula kebijakan yang mampu menawar pahitnya krisis. Utang-utang jatuh tempo, orang-orang tidak mampu membayar apalagi membeli barang-barang dengan utang baru. Bank-bank menangisi tingginya non-performing loan yang segera berubah menjadi kredit macet. Gertakan preman-preman debt-collector tidak lagi efektif, sementara agunan sitaan menjadi sekedar onggok aset mangkrak tanpa bisa diuangkan. Kemudian... pabrik-pabrik gulung tikar.

Tidak sulit untuk merasa panasnya napas krisis sedang di belakang tengkuk kita. Menolehlah ke AS. Kebijakan-kebijakan Trump membuat ekonom-ekonom lugu melonggo kehilangan superhero karena perekonomian dan pemerintah AS tiba-tiba berubah dari panglima perang liberalisasi menjadi mendadak remaja lelaki yang baru kemarin tumbuh rambut di ketiak, mendadak introvert oleh tebaran jerawat, menutup pintu, jendela, dan tirai rapat-rapat agar terhindar dari lirikan gadis-gadis. Khotbah-khotbah penuh percaya diri tentang keniscayaan globalisasi, tentang sangat penting dan bermanfaatnya ekonomi pasar bebas dunia tiba-tiba saja menjadi seperti bisikan hoax dari mulut ke mulut ibu-ibu kompleks tentang tetangga, perempuan single cantik yang meniduri suami orang. Serbaragu dan malu-malu namun tetap saja terus disebarkan.

Dosen-dosen ilmu ekonomi malu sendiri mendengar gaung hafalan mereka yang dilantangkan di ruang-ruang kelas bahwa ekonomi pasar bebas adalah satu-satunya yang masuk akal, adalah bukan saja tidak terhindarkan, tetapi juga wajib. Para mahasiswa yang kritis akan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mencomooh ketololan pada profesor dan doktor yang telah membodohi generasi demi generasi dengan dongeng yang didiktekan negeri-negeri Barat dan Utara.

Di televisi, para ekonom yang mengisi dompetnya dari pos ABPN berkata, “Jangan kuatir, perekonomian Indonesia baik-baik saja.” Andai ilmu sihir itu sungguh ada, beta hanya ingin satu kemampuan saja: mendengarkan suara hati mereka tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

***

Website: Coffee4Soul

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun