Windy Hilly Welly, begitu julukan Wellington. Maka pastilah sungguh dingin di sana. Sebagai perokok, beta sering duduk di beranda untuk mengisap sebatang, berharap dingin terusir dari dada. Rupanya, pemilik kontrakan, rumahnya di belakang rumah yang kami kontrak, sering memperhatikan itu di saat ia lewat. Suatu ketika ia datang membawa tukang untuk memasang alarm asap. Lihatlah, ia tahu beta tidak merokok di dalam rumah. Tetapi sebagai pemilik, tetaplah ia cemas juga pada keamanan rumahnya. Yang hebat adalah bukannya mewanti-wanti beta, mengingatkan agar jangan pernah merokok di dalam rumah, ia memilih mendatangkan tukang untuk memasang alarm.
Tolerasi, menghormati keunikan tiap-tiap pribadi –-di sana level tolerasi sampai level pribadi— sepertinya sudah ditanamkan sejak bangku sekolah dasar. Putra beta kurang suka bermain sepak bola. “Bokong saya berat jika harus berlari, Bu,” alasannya pada Ibu guru. Apa yang dilakukan gurunya kemudian? Ia memangil teman-teman putra beta, memberi mereka tanggungjawab agar putra beta berubah suka bermain sepak bola. Pagi berikutnya, dan demikian seterusnya, bocah-bocah tujuh tahun itu seperti berlomba-lomba dengan beragam cara mengajak putra beta bermain sepak bola. Anda bayangkan, di Indonesia tentulah putra beta akan menjadi objek bullying. Di New Zealand, tanggungjawab mengembangkan diri orang lain ditanamkan pada tiap-tiap pribadi, sejak mereka kecil. Itulah toleransi pada level individu, sikap menghargai perbedaan bakat dan kemampuan tiap-tiap orang.
Mungkin dulu memang begitu. Tetapi yang jelas sungguh mengharukan mengetahui bagaimana orang-orang Eropa di New Zealand menempatkan kultur Maori, masyarakat asli di New Zealand. Penghormatan mereka tidak terbatas pada tiap-tiap penunjuk jalan, rambu-rambu lalu-lintas dan papan-papan petunjuk selalu bersanding bahasa Inggris dan bahasa Maori; atau bahwa bahasa dan produk kesenian Maori diajarkan di sekolah-sekolah. Bukan cuma itu. Di observatiorium Carter, kosmologi scientific Barat diposisikan sama dengan mitologi Maori. Buku-buku, poster, peraga, dan video secara berimbang menceritakan versi ilmu pengetahuan barat dan versi mitos lokal tentang bagaimana semesta diciptakan dan kehidupan bermula.
Bentuk lain toleransi adalah bagaimana penduduk kota, orang-orang biasa, dilibatkan di dalam pengambilan kebijakan publik. Suatu ketika, kampus FKIP Victoria University of Wellington hendak melego sejumlah aset karena butuh dana. Pemerintah Kota dan pihak universitas tidak semena-mena mengeksekusi keputusan itu. Mereka mengundang warga kota untuk mengajak bicara. Warga kota yang memanfaatkan fasilitas itu untuk berolah raga dan beragam kegiatan publik tentu saja menolaknya. Maka rencana itu menjadi berlarut-larut dengan negosiasi panjang mencari jalan keluar. Bagaimana di Indonesia, apakah pejabat pemerintah toleran terhadap ragam pendapat dan aspirasi warga? Atau mereka menutup mata dan telinga, memilih menjadi penguasa yang buta hati dan nalarnya?
Ah, rupanya kita perlu banyak belajar bagaimana Pancasila sungguh-sungguh diterapkan di Negara lain. (TP).
***
Tilaria Padika
Timor, 22/01/2017
Baca Juga: Blessing in disguise, Jokowi Tidak Diundang Trump
PUISI Padika |CERPEN Padika | CATATAN Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H