Ajakan blogger senior, Pak Tjiptadinata Effendi (“Berkaca Diri Lewat Potret Toleransi di Negeri Orang”) untuk berkaca pada perilaku dan kultur toleran di negeri orang itu baik. Mungkin selama ini bangsa kita menderita bipolar. Kita sering rendah diri, merasa kuli di antara banga-bangsa, memandang yang baik dan unggul selalu berasal dari utara atau dari bangsa-bangsa di ufuk terbenamnya mentari. Di sisi lain, kita juga cendrung larut di dalam glorifikasi diri, merasa paling mulia dan bermartabat sedunia. “Kita orang Timur, kental akan nilai-nilai agung kebersamaan dan solidaritas. Kita punya Pancasila yang tiada banding.” Demikian kita bertepuk dada.
Benarkah demikian?
Sebelumnya, beta mengajak kita meluaskan pengertian toleransi, menambahkannya dengan: sikap tidak merasa diri paling penting; tidak menuntut diutamakan; saling mengalah; berlomba-lomba mendahulukan orang lain; mendengarkan pendapat-pendapat yang berbeda; tidak semena-mena mengambil keputusan mentang-mentang berkuasa.
Jika Pak Tjip mengambil contoh Australia, masyarakat yang diakrabinya selama senjakala hidupnya, beta mengajak netizen berkaca pada orang-orang Kiwi, demikian penduduk New Zealand menjuluki dirinya.
Beta berada di New Zealand, tepatnya di Wellington, ibu kotanya, hanya selama 20 hari pada Juni-Juli tahun kemarin. Tidak lama memang, karena beta ke sana hanya untuk mengantar putra tunggal, tujuh tahun usianya, bersekolah dan tinggal bersama emaknya. Namun banyak hal yang beta timba selama waktu yang singkat itu.
Beta sudah mulai terkesima di hari pertama menumpang bus. Beta perhatikan, setiap turun bus tidak ada orang yang tidak mengucapkan terima kasih. Sungguh hebat. Di beberapa kota di Indonesia –-kebetulan beta pernah tinggal cukup lama di setengah lusin kota— kata terima kasih kini hanya diucapkan untuk barang dan jasa yang diperoleh cuma-cuma. Jarang sekali terima kasih diucapkan untuk segala yang berbayar.
Orang-orang Kiwi tulus menghormati orang lain, bahkan kepada pekerja kerah biru, supir bus, yang juga imigran. Sekedar info, di Wellington biasanya pengemudi bus adalah kalangan manula, seringnya nenek-nenek. Tetapi di akhir pekan, karena orang Kiwi sepertinya menikmati hari libur, pekerjaan itu dilaksanakan oleh imigran India dan Banglades (susah membedakan yang mana India, yang mana Bangladesh).
Jika bus penuh sesak, orang-orang Kiwi rela berdiri menahan pegal pada betis dibandingkan harus menyerobot jatah kursi khusus manula dan ibu hamil. Sepenuh apapun bus, meski tidak ada manula atau ibu hamil di dalamnya, kursi khusus untuk mereka –-terletak di belakang supir, dekat bidang lapang untuk kursi roda orang cacat— dibiarkan kosong begitu saja. Jikapun terpaksa diduduki, mereka akan segera berdiri jika manula atau bumil naik bus. Coba kita bandingkan dengan kondisi di KRL Jabodetabek. Meski jelas-jelas tertulis kursi khusus untuk manula, orang cacat, atau ibu hamil pun, bapak-bapak brengosan dan pemuda berlengan penuh otot tega main serobot.
Di Supermarket, ketika kita berpapasan dengan orang Kiwi di lorong sempit di antara rak-rak barang dagangan, perhatikanlah, mereka akan mundur untuk membiarkan kita lewat. Mereka seperti berlomba-lomba untuk mengalah, seolah-olah mengalah dan memberikan kesempatan kepada orang lain lebih dahulu adalah keutamaan hidup mereka.
Di jalan raya beta tidak pernah melihat kendaraan saling salib. Padahal sungguh luas jalan raya di sana dibanding jumlah kendaraan. Tidak ada hambatan dan bahaya sedikitpun untuk menyalib kendaraan di depan sebab lapangnya jalan. Tetapi itu tidak mereka lakukan.