Trump, Presiden terpilih Amerika Serikat yang mengundang kecemasan banyak orang itu akhirnya dilantik. Inaugurasi Trump merupakan salah satu yang terheboh di dalam sejarah kepresidenan AS. Ribuan orang bergembira menyambut harapan baru, terutama kalangan konservatif; kelas pekerja terilusi, yang berharap proteksi pekerjaan kerah biru dari serbuan imigran; dan golongan kurang baca yang berpikir terorisme Arab dan pemerintahan AS itu dua kelompok berlawanan. Tetapi tidak kurang pula yang kecewa, yaitu orang-orang sadar, kelompok pro-demokrasi, orang-orang kiri yang melihat Trump sebagai ancaman bagi demokrasi, kemanusiaan, kesetaraan gender, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia.
Maka langit-langit kota-kota di AS ramai oleh seruan-seruan, bercampur antara bersyukur dan mengutuk. Tajuk-tajuk media dan pilihan-pilihan headline terbelah, antara kanan yang pro-Trump dan kiri yang mengutuknya.
Pak Trump Presiden AS, Pak Jokowi Presiden RI. Keduanya sedang berjodoh tampil bersama di halaman surat kabar dan warta daring. Undangan inaugurasi rupanya si mak comblang. Seperti ramai kabar, Pak Jokowi tidak hadir di dalam selametan resmi Pak Trump. Ada yang lugas mengatakan Pak Jokowi tidak diundang. Ada pula yang mencoba santun memilih diksi ‘undangan belum sampai.’
Publik awam mungkin kecewa dan marah, “Kok Pak Jokowi idola kita tidak diundang, ya? Kurang ajar betul si pengusaha penginapan itu! Apa dia lupa, jika semua penginapan butuh meubel?” Bertambah pula sakit hati para fans Pak Jokowi ketika penulis-penulis pengejar upah menerima order politisi dan segera menggoreng peristiwa ini menjadi, “Weleh, Pak Jokowi yang meraih penghargaan presiden terbaik se-Asia-Australia itu bukan siapa-siapa di mata Trump. Kacian deh.”
Beta malah membayangkan kondisi sebaliknya. Coba Bapak-Ibu-Saudara turut membayangkan betapa pusingnya Pak Jokowi andai tiba undangan dari Donald Trump. Jika Pak Jokowi seorang kanak-kanak, pasti ia sedang membilang buku-buku jemari, ‘hadir-tidak hadir-hadir-tidak hadir…”
Pak Jokowi pantas bingung memutuskan andai betul ada undangan PakTrump. Sebabnya adalah Pak Trump bukan presiden sembarangan. Pertama ia adalah presiden Negara yang –meski sebentar lagi disalip Republik Rakyat Tiongkok— masih berstatus adikuasa. Kedua, sebaliknya, Trump adalah simbol reaksioner, ultra-kanan, anti-minoritas, dan lain-lain citra negatif. Yah, untuk mudahnya, bandingkan saja Pak Trump dengan Pak Rizieq, dan anggaplah ormas bekas komponen PAM Swakarsa bentukan TNI-Pak Wiranto itu sebuah bangsa. Lebih mudah tidak, sih? Lupakan.
Jika Pak Jokowi tidak hadir, bagaimana nasib hubungan RI-AS? Tidakkah nanti AS akan menyulitkan RI dalam pergaulan internasional? Tetapi kata orang, “Siapa mengundang, siapa berkawan.” Maka jika hadir, apa kata orang tentang citra Pak Jokowi. “Lihatlah, dia berkawan Trump. Ternyata dia seorang reaksioner, anti-demokrasi, anti-minoritas, bahaya bagi demokrasi dan hak asasi.” Berabe kan kalau begitu.
Maka, beruntunglah undangan itu 'tidak sampai.' Atau mungkin sudah jauh-jauh hari pihak Kemenlu melobi Dubes AS, “Pak, tolonglah diatur agar Pak Jokowi tidak usah diundang dalam selametan resmi Pak Trump.” Dengan jalan itu, Pak Jokowi tidak kehilangan citra, pun Pak Trump tidak hilang muka.
Syukurlah, jadilah ‘undangan belum tiba’ ini sebuah Blessing In Disguise. Pak Jokowi tidak perlu pusing lagi membilang buku jemari untuk memutuskan.
Berbeda dengan Pak Jokowi, seorang pengusaha penginapan dan jejaring bisnis pewartaan nasional yang juga politisi mengalami ‘curse behind laughing.’ Bapak pengusaha ini diundang Pak Trump sebagai rekan bisnis, dan tanpa pikir panjang menepuk dada seolah-olah diundang Pak Trump itu sebuah berkah.
***