Jika ada yang tidak kenal Tirto Adhi Soerjo, sebaiknya segera mengurus kewarganegaraan lain, jangan lagi tinggal di Indonesia, dan berhenti juga menjadi blogger. Saya serius ini. Itu ibarat tak mengenal ibu sendiri. Eh, berlebihan ya?
Tirto Adhi Soerjo, baiknya disingkat saja sebagai TAS, adalah salah satu tokoh utama yang memelopori era perjuangan modern menuju Indonesia merdeka. Adalah figur TAS inilah yang dijadikan Pramoedya Ananta Toer sebagai Minke di dalam Tetralogi Pulau Buru. Di mata PAT, TAS adalah Sang Pemula.
PAT tentu tidak berlebihan. Adalah TAS tokoh pribumi (penduduk Hindia Belanda non peranakan Eropa) pertama yang menggunakan media massa (surat kabar) sebagai alat perjuangan kemerdekaan. Surat kabar yang didirikan TAS antara lain Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Medan Prijaji adalah surat kabar pertama yang menggunakan bahasa melayu (penyusun utama bahasa Indonesia), dan mempekerjakan orang-orang pribumi (mulai dari redaktur, wartawan, hingga buruh percetakan). Selain media massa, TAS juga mempelopori organisasi modern, yaitu Serikat Dagang Islam (SDI) yang kelak menjadi Serikat Islam (SI).
Atas kepeloporannya dalam perjuangan di lapangan media massa, pada 1973 pemerintah menggelari TAS sebagai Bapak Pers Nasional.
Lantas apa hubungannya dengan hoax?
Rupanya, TAS pernah menulis tentang masalah hoax ini pada satu di antara rangkaian artikel berjudul “Oleh-Oleh Dari Tempat Pemboeangan.” Artikel ini TAS tulis selama masa pembuangannya di Teluk Betung, Lampung pada 1909.
TAS dibuang ke Teluk Betung oleh Pemerintah (waktu itu pemerintah yang konstitusional adalah Pemerintah Kolonial Belanda—tentu saja konstitusional karena hukum positif yang berlaku adalah hukum Belanda) karena membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. TAS dianggap melanggar delik pers karena menghina pejabat Belanda. Ia dijerat dua undang-undang sekaligus, yaitu Drukpersreglement 1856 dan Undang-undang pers tahun 1906.
Dalam hidupnya, TAS memang kerap berurusan dengan pengadilan pemerintah, dipenjara dan dibuang. Pembuangan terakhir adalah pada 1912 ke Pulau Bacan, Halmahera. Sekali lagi gara-gara goresan penanya. TAS dituduh menghina pejabat pemerintah, Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain, melalui tuduhan menghalangi suami R.A. Kartini (R. Adipati Djodjodininggrat) menggantikan ayahnya sebagai Bupati Rembang. Sepulang dari pembuangan itu (6 bulan), TAS meninggal.
Baiklah, kita kembali ke artikel TAS tentang hoax itu.
Kumpulan artikel “Oleh-Oleh Dari Tempat Pemboeangan” pertama kali dimuat oleh surat kabar Perniagaan. Medan Prijaji memuatnya kembali secara berseri pada edisi nomor 20-23 dan 25, pada Mei-Juni 1910.
Dalam salah satu artikel, TAS menulis tentang pandangannya atas perkara ‘redacteur de Padang’ yang dipenjara dan akan diadili terkait tuduhan “suda menggunaken pengarunya pekerja’an supaya bisa dapet uwang.”
TAS bersikap, pertama ia setuju jika “kelakuan menggunaken pengarunya pekerja’an aken bisa dapet uwang memang dicela sekali, terutama bagi saorang jang berjabat piker pekerja’an pengawal fikiran umum.”
Tetapi TAS menolak jika delik yang dikenakan pada redaktur surat kabar sama seperti delik yang dijeratkan pada pejabat serupa pegawai pemerintah, polisi, hakim, dan lain-lain pegawai umum yang “memikul kekwasaan umum (draggers van openbaar gezag)” yang diberikan undang-undang.
Menurut TAS, delik yang diberikan kepada pekerja surat kabar adalah delik penipuan. Itu karena menurutnya, “satu redacteur tiada mempunyai kemerdekaan akan cela atawa wartakan kejahatan atawa perbuatan orang, kecuali yang berdasar atas surat-surat authentiek.” Bagi TAS, hukuman itu berfungsi “kebaean belaka buat derajatnja pers, terutama di Hindia ini” sebab “pers Melayu yang sedeng dapet perhatian patut tercuci dari kelakuan semacem itu yang dilakukan oleh penggawenya.”
TAS memang tidak menggunakan istilah hoax, namun apa yang TAS katakan sebagai memberitakan kejahatan atau perbuatan orang tanpa bukti-bukti dengan tujuan mendapatkan uang adalah sesungguhnya hoax.
Bagi saya, hoax tidak boleh semena-mena diluaskan pengertiannya hingga meliputi juga pandangan atau penilaian atas suatu persoalan, meski pandangan tersebut berbeda dengan pandangan publik dan dapat menyebabkan keresahan. Hoax tidak boleh pula disangkakan kepada pekerja pers atau individu yang oleh karena tidak professional di dalam tugas telah menghasilkan berita yang menyesatkan. Hoax harus secara ketat didefinisikan sebagai penipuan yang sengaja diciptakan dan sengaja disebarkan untuk keuntungan tertentu dari si pembuatnya.
Atas hoax yang seperti ini, TAS menyarankan pengadilan terhadap pelakunya sebagai kejahatan penipuan. Saya setuju dengan TAS. Bukankah KUHP kita sudah mengatur tentang penipuan ini? Maka mengapa perlu lagi sejumlah kegenitan untuk menciptakan hukum baru dan segala kerepotan lembaga-lembaga baru?
Sekedar informasi, “Oleh-Oleh Dari Tempat Pemboeangan” telah diterbitkan lagi oleh Penerbit Octopus pada 2016 lalu. Kutipan yang digunakan di dalam artikel ini berasal dari edisi terbitan Octopus. Pihak penerbit mengedit untuk sedikit menyesuaikan ejaan yang digunakan di zaman TAS dahulu.
***
Tilaria Padika
Timor, 19/01/2017
Terbaru: - ENAM manfaat RAHASIA blogging - Becermin Padai Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa
Baca juga: PUISI Padika | CERPEN Padika | CATATAN Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H