“Ayah, malam ini ceritakan padaku dongeng hantu. Jangan terlalu seram. Jangan sampai ia mengejar hingga lelapku, menyusup ke dalam mimpiku. Yang koplak lebih baik, agar jikapun ia bertandang ke dalam tidur, akan kuajak dia bermain petak umpet.” Pinta putraku usia tujuh.
“Baiklah, cintaku. Sudah kauberdoa tadi? Tak perlu banyak kaupinta sebab Tuhan Maha Pengasih. Syukuri saja hari ini, orang-orang yang mencintaimu dan indah kehidupan meski sering kerikil menyandung hatimu.”
“Sudah Ayah.”
“Okay. Kini sandarkan kepalamu pada lengan ayah. Sambil kaupeluk gulingmu, agar cepat lelapmu, tak harus mengunggu ayah usai berkisah.”
***
Konon di sebuah negeri, negeri antah berantah di tempat Mentari terbit, pernah ada hantu sangat menakutkan. Sudah ada sejak dulu. Tidak dahulu sekali, mungkin sejak telepon, kereta api, dan surat kabar baru dikenal di negeri itu, terutama di kota-kota dan pelabuhan di mana bendera lambang darah-awan-laut berkibar perkasa. Bendera itu kebanggaan orang-orang jangkung rambut-merah-kulit-pucat. Londo, ya begitu sebutannya jika di negeri kita. Orang-orang Londo ini dahulu datang untuk berdagang lalu memerintah negeri antah berantah itu.
Ini hantu yang aneh. Tubuhnya tak kasatmata tetapi ia berakal dan berjiwa. Hantu blasteran. Akalnya dari negeri mentari pergi, negeri keju literatur. Jiwanya dari negeri itu sendiri, negeri mentari tiba, negeri syair rempah tenun tetarian.
Karena tak bertubuh, hantu ini meminjam tubuh manusia, merasuki manusia. Anehnya tak asal tubuh ia pilih. Sepertinya ia suka bau keringat, juga tinta dan kertas. Karena itu, mereka yang bertani, berpeluh di pabrik-pabrik, dan yang gemar membaca dan menulis sangat sering menjadi inang, dirasuki Hantu Koplak.
Jadi perlu kauingat, turuti perintah ibumu untuk mandi fajar dan petang agar tak berbau keringat dirimu, agar jangan tubuhmu disukai Hantu Koplak. Kita orang Asia tropis, bangsa bersarung, bukan bangsa bersorban dari padang pasir tandus dan orang-orang negeri keju yang jarang mandi itu.
Baiklah Ayah lanjutkan.
Kerasukan hantu ini berjangkit. Ya, seperti penyakit menular. Bukan kelas rendahan seperti influenza yang gampang berjangkit tetapi mudah sembuh. Lebih tepat seperti cacar, sekali terjangkit jejaknya lama membekas pada kulit. Atau seperti Malaria, yang oleh Plasmodium vivax, bukan yang falciparum, bertahta di hati selamanya. Mungkin juga seperti hepatitis-C yang konon belum ada vaksinnya.
Kautahu kan kalau hantu di negeri kita suka menyendiri? Ada yang di pekuburan, pada pohon-pohon besar, di pojok gang gelap, di dalam rumah-rumah kosong, atau rumah-rumah besar megah tetapi hanya berpenghuni 2-4 orang.
Nah, Hantu Koplak di negeri antah berantah itu justru suka keramaian. Karena suka bau keringat tadi, Hantu Koplak sering berada di keramaian pabrik; di pasar-pasar becek; di antara petani yang sedang bergotong-royong; atau di tempat sekolah pemuda-pemudi seperti Mbak Nunik cantik di rumah depan itu. Hantu Koplak juga berada di pusat-pusat pemukiman. Bukan di kompleks rumah-rumah besar berpagar dan bertaman luas. Ia memilih di gubuk-gubuk berhimpit di balik gedung-gendung besar, yang jika orang tua bersayang-sayangan, desah mereka terdengar tetangga sebelah.
Oh, maaf, tak perlu kaudengar yang barusan. Lupakan. Jangan kautanya apa itu desah pada ibumu besok. Jangan juga cerita soal pujian ke Mbak Nunik tadi. Boleh cerita ke Mbak Nunik, tetapi jangan pada ibumu.
Baiklah. Kautahu apa yang terjadi jika orang sudah terasuki Hantu Koplak?
Orang-orang berubah pembangkang. Petani tidak mau lagi sukarela disuruh mengerjakan jalan atau menggarap kebun tuan-tuan Londo yang baik hati. Jangankan membayar biaya bikin STNK, mereka bahkan menolak bayar pajak untuk pembangunan negeri.
Orang-orang berubah pemalas dan tukang tuntut. Para buruh suka menuntut upah naik. Jadi macam-macam keinginan mereka, tak bersyukur sudah bisa makan sekali sehari. Mereka menolak disuruh bekerja lebih lama jika tak berbayar sepadan. Mereka hanya berpikir urusan perut sendiri, tak peduli kepada majikan yang susah payah mencari uang. Kalau menuntut mereka sering berlaku kurang ajar, ramai berbaris di depan pabrik dan meneriaki majikan. Kadang-kadang ramai mereka mengadu ke tuan besar penguasa. Percuma. Mereka tak tahu jika tuan penguasa adalah sahabat tuan majikan, bahkan bisa berkuasa karena bermodal urunan dana para majikan.
Orang-orang berubah kepo dan suka kritik. Mereka haus dengan keingintahuan yang tak perlu. Dengan pengetahuan yang ada mereka memprotes dan mengolok-olok orang-orang kaya dan orang-orang bijak yang memerintah negeri.
Ini membuat tuan-tuan Londo dan orang-orang besar pribumi, yang besar karena berlimpah harta, pun karena kebagian ceceran kuasa Londo sangat ketakutan. Hantu Koplak sungguh meneror mereka.
***
“Mengapa Kaudiam, Ayah? Engkau tertidur?”
“Oh, maaf, Ayah pikir matamu tertutup karena telah lelap. Sampai di mana kita tadi?”
“Mengapa tidak dipanggil saja pandita untuk mengusir Hantu Koplak dengan ayat-ayat suci?”
“Nah, itu dia yang aneh dengan Hantu Koplak Blasteran ini.”
Hantu Koplak tidak mempan diusir dengan doa, ayat-ayat suci, pun aneka benda keramat bertuah. Mereka tak takut pada para pandita. Banyak pandita bahkan dibuat malu, ditelanjangi cacat-celanya oleh orang-orang kerasukan. Ada pandita yang menetapkan tarif mahal jika diundang selamatan warga. Ada pandita menguasai tanah luas dan hidup dari keringat petani-petani miskin. Semua itu dikatakan tanpa sungkan oleh orang-orang kerasukan itu, tanpa hormat.
Anehnya, para pandita baik hati, yang sering tulus mengulurkan tangan pada orang-orang susah justru ikut dirasuki Hantu Koplak. Maka sering kali di mimbar-mimbar kotbah, para pandita baik hati ini berubah jahat. Mulut mereka bukan mengabarkan hidup damai dan rukun demi surga setelah mati, tetapi sembilu tajamnya mengeritik perilaku orang-orang besar.
Untuk mengusir Hantu Koplak ini, akhirnya Tuan-tuan Londo mengerahkan serdadu-serdadu. Orang-orang kerasukan ditangkap, dibuang ke pulau pencil di Timur yang jauh.
Tetapi teror Hantu Koplak tak berhenti. Menjadi-jadi. Tokoh-tokoh utama negeri, terutama di kalangan pribumi, orang-orang cerdik pandai, malah kerasukan. Mereka berubah jadi pembenci, sangat membenci orang-orang Londo yang secara sah menguasai negeri mereka ratusan tahun lamanya, yang berjasa memperkenalkan penduduk pribumi dengan pendidikan modern, memberantas banyak penyakit menular, dan lain-lain.
Jumlah orang kerasukan jadi jauh lebih banyak. Orang-orang bodoh berubah pandai menulis, pandai berbicara, tetapi semuanya penuh amarah dan kebencian. Tanpa tahu berterima kasih, mereka menuduh Londo sebagai perampok, sebagai pencuri kekayaan negeri. Sungguh kasihan Londo-Londo itu.
Tak tahan lagi terus dihantui, kaum Londo meninggalkan negeri antah berantah. Maka mulailah negeri itu diperintah orang-orang kerasukan.
Beruntunglah, Nak. Ada pula yang belum kerasukan. Mereka terutama para serdadu. Hantu Koplak sepertinya takut bau mesiu. Atau mungkin para serdadu lebih totol dari petani, mungkin juga mereka berbau arak, bukan keringat, sehingga tak ada selera Hantu Koplak merasuki.
Berbekal pertolongan negeri nun jauh di Utara sana, para serdadu dipimpin jenderal yang lihai banyak akal merampas kekuasaan dari para pemimpin negeri yang sudah kerasukan Hantu Koplak. Tanpa ragu, dan tanpa perlu ditanya benar-salahnya, para tokoh negeri yang kerasukan, dan jutaan orang-orang bodoh yang juga kerasukan, atau dicurigai kerasukan, segera dipenjara, dibuang, bahkan dibunuh. Bahkan suami/istri, anak-anak, dan kawan-kawan dari mereka yang kerasukan pun dipenjarakan.
Jenderal sungguh luar biasa. Ia pandai Kungfu Taichi dengan jurus terhebatnya memanfaatkan kekuatan lawan. Maka si Jenderal pun menggunakan kekuatan serupa Hantu Koplak: Kebencian. Kepada mereka yang belum kerasukan, si Jenderal perintahkan serdadu-serdadu suntikkan serum kebencian.
Tetapi kebencian yang disebar jenderal bukan kepada Londo-Londo atau orang-orang baik pemilik pabrik dan kebun-kebun luas. Kebencian yang disebar jenderal sebaliknya diarahkan kepada orang-orang yang dicurigai sudah kerasukan Hantu Koplak atau yang berpotensi kerasukan.
Segera saja virus kebencian baru menyebar. Mereka yang enggan membenci saudara sendiri akan dituduh ikut kerasukan pula. Maka orang-orang pun takut sehingga jadi patuh.
Jenderal sungguh pintar. Ia mencegah orang-orang kerasukan. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ia melarang orang menulis dan membaca, melarang orang-orang berkumpul untuk memprotes. Orang-orang dituntut hidup penuh syukur, untuk nrimo meski merasa tidak adil. Orang-orang dilarang cemburu pada tuan-tuan besar yang hidup lebih makmur karena disayang Tuhan sehingga dilimpahi tanah luas dan pabrik-pabrik menjulang.
Itulah cara efektif si jenderal agar orang-orang tidak mudah dirasuki Hantu Koplak. Jika ada yang sedikit saja mulai menunjukkan tanda akan kerasukan, mulai menjadi tukang cari tahu dan tukang protes, akan segera diciduk serdadu.
Maka berpuluh-puluh tahun lamanya negeri itu aman tenteram. Hantu Koplak sisa kisah di dalam buku sejarah dan filem wajib setiap akhir bulan tertentu.
***
“Terus bagaimana kalau jenderal itu mati dan Hantu Koplak datang lagi, Ayah?”
“Jenderal memang akhirnya mati. Ia dibunuh rakyat negeri yang tidak tahu berterima kasih, yang lebih memilih adil dan sejahtera dibanding hidup aman.”
“Apakah orang-orang yang membunuh si jenderal itu dirasuki Hantu Koplak?”
“Ah, itu dia. Rupanya Hantu Koplak itu wujudnya semacam energi. Ia pencampuran antara ketidakpuasan pada kemelaratan; kecemburuan kepada orang-orang malas tetapi makmur; ditambah dengan pengetahuan tentang apa yang menyebabkan kemelaratan dan perbedaan nasib.”
“Aku tahu cara musnahkan Hantu Koplak, Ayah.”
“Bagiamana?”
“Ada dua pilihan. Pertama orang-orang tidak boleh dibiarkan melarat. Semua harus sejahtera. Jangan ada yang menjadi kaya karena menghisap yang lainnya. Cara kedua adalah orang-orang dilarang membaca, jangan berpengetahuan.”
“Hmmm, benar juga. Cara mana hendak kautempuh?”
“Aku pilih cara pertama. Cara kedua dipilih si Jenderal. Ia gagal karena karena orang-orang akan selalu mencari pengetahuan. Tetapi jika cara pertama, jika orang-orang hidup adil dan sejahtera, meski berpengetahuan mereka tidak akan kerasukan Hantu Koplak. Mereka akan hidup damai bersatu karena kedamiaan ada selama ada keadilan, tidak sebaliknya.”
“Ah, pintar kau, Nak. Sini ayah cium. Sekarang tidurlah.”
***
Tilaria Padika
Timor, 08/01/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H