Sudah genap enam bulan setiap pagi hari saya meminum OAT, obat khusus untuk menyembuhkan penyakit Tuberkulosis (TBC). Berat hati saya saat pertama kali dokter mendiagnosis bahwa saya terjangkit TB Paru. Saya tidak menyangka bahwa saya terjangkit penyakit ke-3 mematikan di dunia. Saya hanya bisa menangis membayangkan apakah saya bisa melalui hari -- hari dimasa depan?
Banyak pertanyaan dibenak saya, yang mungkin juga ada dibenak setiap penyintas TBC, Â "bagaimana saya bisa terjangkit penyakit TBC?", "apakah saya bisa sembuh dan beraktivitas secara normal?", "bagaimana reaksi orang terdekat saat saya terjangkit penyakit ini?".
Disinilah saya akan menceritakan pengalaman pahit saya saat bakteri TB ini menyerang paru-paru saya.Â
Bagaimana saya terjangkit TBC ?
Pada saat dokter mendiagnosis bahwa saya terjangkit  TBC, orang sekitar saya spontan berkata "mangkanya jangan pakai kipas angin kalau tidur, kamu terlalu sering tidur di lantai, kamu tidak pernah pakai jaket". Saya berfikir apa memang pola hidup saya yang tidak baik sehingga saya terjangkit penyakit ini. Saya beranikan diri untuk bertanya ke dokter, kenapa saya bisa terjangkit TBC?, apakah karena faktor-faktor diatas. Jawaban dokter TIDAK!.Â
TBC murni disebabkan oleh bakteri yang menular. Sama halnya dengan COVID 19, TBC ditularkan melalui droplet ketika berbicara, batuk, dan bersin. Namun, saya masih tidak percaya bahwa saya bisa tertular karena selama ini saya tidak pernah berkontak dengan pasien ataupun penyintas TBC. Namun, dokter mengkonfirmasi bahwa sebenarnya banyak orang disekitar tempat tinggal saya yang terjangkit penyakit TBC.Â
Memang benar, seseorang tidak akan mengetahui fakta yang sebenarnya saat mereka tidak mengalaminya secara langsung. Selama saya menjalani pengobatan ini banyak tetangga ataupun saudara yang bercerita bahwa satu keluarga mereka semua terjangkit TBC, salah satu tetangga meninggal karna tidak rutin meminum obat, dan cerita lainnya. Sedih mendengar semua cerita itu saat saya sudah terjangkit.Â
Apa gejala yang saya alami?
- Batuk lebih dari 2 Minggu. Gejala awal yang saya alami adalah batuk kering selama lebih dari 2 bulan lamanya. Saya masih ingat pertama kali saya batuk adalah Desember 2020. Tiga kali saya pergi ke dokter untuk mengobati batuk saya namun tidak ada yang bisa meredakan batuk yang saya alami.
- Penurunan Berat Badan dan lemas. Masuk ke bulan kedua semenjak saya batuk kering, saya mulai merasa lemas dan tidak nafsu  makan. Berat badan saya berkurang hingga 8 kilo dalam satu bulan. Â
- Batuk berdarah. Puncak dari batuk kering yang saya alami adalah Batuk berdarah. Setelah tiga kali saya pergi kedokter namun tidak membuahkan hasil. Saya tidak berani untuk pergi ke dokter lagi, karna saat itu adalah masa pandemi virus korona. Pada hari itu saya merasa tubuh saya benar benar sakit, dada hingga ujung tulang rusuk saya serasa remuk. Tiba tiba saat saya batuk keluar darah segar. Darah itu terus keluar saat saya batuk. Batuk berdarah ini saya alami selama 1 minggu.
- Nyeri dada. Selama saya batuk saya selalu mengalami nyeri dada. Saya tidak berfikir bahwa itu hal yang berbahaya karna saya masih memberikan ASI. Namun, setelah saya menjalani pemeriksaan, foto toraks saya menunjukkan bahwa paru paru saya sudah sebagian tertutup oleh flek.
- Demam. Selama Bakteri TBC masih aktif dibadan saya, saya mengalami deman setiap hari hampir 1 minggu. Deman yang saya alami tidak terjadi sehari penuh. Demam tersebut muncul saat sore hari pukul 05.00 keatas. Demam berlangsung selama 3-4 jam. Setelah demam turun, badan saya yang sebelumnya mengigil jadi berkeringat di malam hari meski saya tidak melakukan aktivitas apapun.
Selama dua minggu awal setelah saya didiagnosis mengidap TBC, saya benar -- benar down. Saya harus melakukan isolasi mandiri. Saya jauh dengan anak saya yang baru berumur 2 tahun karena saya takut dia akan tertular. Saya juga harus kehilangan calon anak saya. Yups, seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Saya berada pada masa awal kehamilan saat saya terkena TBC dan saya mengalami keguguran.Â
Setiap sore saya selalu menangis menahan demam, sakit badan, dan kerinduan akan anak saya. Namun, saya selalu bersyukur karna 24 jam suami selalu siaga untuk membantu saya dalam segala hal. Setelah lebih dari 1 bulan pengobatan, saya sudah merasa baik.Â
Saya sudah dapat melakukan aktivitas meski terbatas, karena masih agak sulit untuk melakukan aktivitas yang berat. Setelah 6 bulan ini, tes dahak menunjukkan bahwa saya sudah negatif TBC. Dokter selalu menyarankan saya tetap meminum vitamin dan menjaga imunitas saya, agar saya tidak terjangkit bakteri TBC lagi. Saya menulis pengalaman saya ini karena saya ingin mengingatkan bahwa penyakit mematikan ini memang ada dan kita tidak pernah tahu kapan, dimana, dan oleh siapa kita bisa terjangkit penyakit ini. Yang paling penting jika ingin sembuh dari penyakit TBC ini adalah selalu berfikir positif, minum obat secara teratur, dan makan makanan yang bergizi. Semoga artikel ini menambah wawasan dan kesadaran pembaca bahwa menjaga kesehatan merupakan prioritas utama, karna saat kita sakit kita akan mengorbankan banyak hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H