Mohon tunggu...
Tikwan Raya Siregar
Tikwan Raya Siregar Mohon Tunggu... -

Pada tahun 2012, saya petani, dan punya sedikit tanah untuk dicangkul. Di atasnya saya buat gubuk cantik, tempat saya menulis. Sesekali, kalian akan saya undang makan pisang dan kacang rebus.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjinakkan Faksi-faksi di Demokrat dengan Idiologisasi

24 Mei 2010   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Demokrat adalah aset bangsa bila dilihat dari perspektif bahwa partai ini mampu berperan sebagai wadah kepentingan yang beragam. Bangunan negara sendiri  idealnya ditopang oleh proses politik di mana terdapat kegiatan-kegiatan untuk menautkan simpul-simpul kepentingan masyarakat menjadi "satu ikat petai" yang besar, yang seterusnya dinamakan sebagai negara. Dari tesis ini, maka semakin besar kemampuan satu partai politik untuk melakukan ikatan sosial, maka semakin besarlah perannya dalam proses bernegara itu.

Partai Demokrat lahir dari sebuah transisi politik, ketika sebagian besar masyarakat Indonesia kehilangan pijakan idiologi dan kegamangan terhadap masa depan bangsa. Seperti orang yang hanyut dui sungai dan tak bisa berenang, maka benda apapun yang dapat diraih atau bisa dijadikan harapan untuk hidup, akan cepat dipegang tanpa banyak pertimbangan. Dalam masa yang terlukiskan seperti itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memproklamirkan lahirnya Partai Demokrat, yaitu partai baru yang relatif lebih bersih dari kekuasaan masa lalu, dan menjadi kekuatan baru yang memposisikan diri sebagai partai tengah. Secara personal, figur SBY yang sedang bersinar pada saat itu karena tampil adem, cerdas, dan berkharisma, juga membawa "harapan mesianisme". Perpaduan kedua hal itu memperkokoh lahirnya sebuah wadah yang dengan cepat mendapat simpati publik, atau paling tidak menjadi pilihan alternatif di tengah bobroknya tradisi politik masa itu. Meskipun demikian, Partai Demokrat belum menjadi partai terbesar pada pemilihan umum pertama yang diikutinya.

Sebagai partai baru yang tidak lahir oleh proses menyatunya faksi-faksi secara alamiah sebagaimana proses terbentuknya suatu masyarakat, maka komposisi yang membentuk Partai Demokrat sebenarnya belum stabil dan grounded. Kohesi dominan dari partai ini masih terletak pada sosok SBY. Parameternya bisa dilihat dari bagaimana permisif dan kurang percaya dirinya tokoh-tokoh politik senior di dalam partai itu untuk maju sebagai orang nomor satu. Terpilihnya Hadi Utomo sebagai Ketua Umum dan terbentuknya pikiran kolektif bahwa Ibas (Edhie Baskoro) akan menjadi calon politikus masa depan, adalah hal-hal irrasional yang masih dipelihara untuk sekadar mengaitkan partai dengan roh Susilo Bambang Yudhoyono.

Kader-kader Demokrat belum bisa membentuk landasan berpartai yang baru. Faksi-faksi yang sebelumnya bersatu tidak secara idiologis menghadapi ancaman retak apabila tanpa SBY. Dalam waktu cepat, dibutuhkan satu figur baru yang bisa menjadi substitusi SBY, atau paling tidak mampu menjadi bintang baru yang bekerja untuk mendisain partai sebagai partai rasional dan idiologis sebagaimana cita-cita pendirinya. Masa transisi ini memang tidak mudah karena massa partai masih akan cenderung menggantungkan harapan pada figur, di mana penampilan, kesantunan, dan mitos masih menjadi indikator-indikator yang dipakai. Kampanye-kampanye para calon ketua umum Partai Demokrat hingga terpilihnya Anas Urbaningrum mencerminkan hal itu.

Tantangan pertama ketua umum terpilih adalah, mencairkan segera faksi-faksi yang ada dalam partai untuk menjaga komunikasi politik yang lebih mudah. Anas perlu untuk meneruskan kampanye idiologi SBY-isme, tapi juga harus mulai melemahkan politik akomodasi SBY yang terpaksa dilakukan di masa-masa sulit. Bagi ketua umum baru, kerja-kerja pengorganisasian dan internalisasi nilai kader akan jauh lebih penting ketimbang mempertahankan stabilitas semu dengan cara-cara akomodatif.  Bila hal ini dapat dilakukan, maka Partai Demokrat akan kuat ke dalam, dan sekaranglah saatnya ketika modal kekuasaan itu masih berada di tangan SBY. Apabila power holder sudah berganti, dan pengaruh SBY sudah redup, maka orang-orang yang dianggap selama ini loyal kepada partai karena mendapat bagian kekuasaan akan segera pergi mencari kendaraan lain. Hanya kader-kader idiologislah yang akan setia pada garis perjuangannya, dan merekalah seharusnya yang menjadi tumpuan partai di masa mendatang. Para kutu loncat (itu bisa dibaca dari track record-nya) hanya akan memecah-belah partai dengan menggunakan faksi-faksi yang ada di dalam.

Anas Urbaningrum akan ditantang untuk melihat dengan jernih dan sensitif siapa yang harus ia gandeng untuk berjuang bersama. Sopan santun memang tetap penting, tapi etika politik untuk mendahulukan yang bekerja keras dan setia adalah lebih penting. Bila tak berhasil membangun etika dan idiologi, maka Partai Demokrat akan segera disalip lagi oleh PDI-P dan Golkar yang sudah lebih dahulu memiliki barisan kader idiologis yang setia di masa senang dan susah.

Akhir kata, SBY sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, yaitu menciptakan wadah bagi para demokrat di negeri ini dan merebut kekuasaan sebagai modal lewat pemanfaatan berbagai faksi sosial dengan pola yang transisional. Tapi sekarang infrastruktur politik sudah berubah, maka struktur politik juga harus segera didisain ulang. Tidak ada lagi masa krisis secara nasional, kecuali di dalam tubuh Demokrat sendiri, yaitu PR-PR konsolidasi yang belum selesai. Untuk menyelamatkan faksi-faksi yang longgar itu, SBY sebagai figur harus segera ditransformasi menjadi SBY-isme secara kritis dan konstruktif. Dan itulah momen penting yang diamanahkan zaman kepada Bung Anas Urbaningrum. Selamat berpolitik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun