Mohon tunggu...
Tiknan Tasmaun
Tiknan Tasmaun Mohon Tunggu... Administrasi - Praktisi herbal sekaligus blogger

Praktisi herbal yang ingin bermanfaat bagi sesama. Punya website di https://tiknan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bersyahadah Alias Bersaksi

12 April 2012   08:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:43 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersyahadah, dalam terminologi agama, adalah sebanding dengan makna 'menetapkan diri sendiri menjadi saksi atas sesuatu obyek kesaksian'. Proses perilaku ini dinamakan 'penyaksian'.

Ada tiga tingkatan penyaksian seseorang. Pertama, si saksi melihat, mendengar dan mengalami sendiri atas apa-apa yang disaksikan. Kedua, si saksi membenarkan penyaksian orang lain karena orang tersebut menurutnya adalah orang yang benar, tidak pernah dusta dan terpercaya. Kertiga, si saksi hanya 'menjadi saksi' karena diberi tahu oleh orang lain, alis 'katanya dan katanya.'

Tentu dari ketiga macam penyaksian diatas maka yang betul-betul berhak menjadi saksi adalah orang yang mengalami proses penyaksian pertama dan kedua. Sedangkan model ketiga sangat lemah kesaksiannya.

Kesaksian dalam bahasa agama sering disebut 'syahadah'. Intinya penyaksian atau syahadah bukan sekedar 'mengaku percaya' namun lebih dari itu. Penyaksian atas kebenaran wahyu ilahi bagi manusia biasa adalah mula-mula karena mendengar ajaran guru. Ini baru pada level kesaksian yang 'katanya-katanya'. Proses selanjutnya adalah penyaksian karena 'membenarkan' apa-apa yang diterima karena tahu bahwa si Pembawa Risalah adalah benar, tiada dusta dan terbebas dari kesalahan. Pada tataran lanjut, si penyaksi membenarkan kesaksiannya karena 'merasa, mengalami dan menyaksikan' sendiri kebenaran kesaksian tersebut.

Pada tataran praktis, apakah kita sudah benar-benar menjadi penyaksi atas kebenaran Bismillahir Rohmanir Rohiim. Apakah kita sudah menjadi panyaksi atas sifat Ar- Rohmaan dan Ar-Rohiim Tuhan. Apakah kita sudah menjadi penyaksi bahwa Tuhan Allah itu benar-benar bersifat kasih dan pengasih.

Jika belum, tentu tiap kita membaca wahyu ilahi yang menerangkan bahwa Dia bersifat dan berperilaku (Af'al-Nya) Welas Asih maka hati kita masih memberontak sangsi karena kita tidak atau belum menyaksikan kebenarannya. Tetapi jika hati sudah disingkap 'penutupnya' maka ketika kita diberitahu atau membaca atau menyebut dan memanggil Allah bahawa Allah itu Rohmaan dan Rohiim maka hati kita membenarkan tiada lagi sangsi apalagi mendustakannya.

Ibarat gula. Pertama kita diberi tahu bahwa gula pasir itu warnanya putih, bentuknya butiran kristal kecil-kecil seperti pasir dan rasanya manis. Mula-mula kita percaya kepada orang yang memberi tahu. Ketika kita tanya pada si guru pemberi tahu tersebut, apakah Anda sudah pernah merasakan rasa gula, eh dia jawab bahwa dia sendiri belum pernah ketemu, melihat apalagi merasakan rasa gula.

Guru tersebut hanya menyampaikan bahwa dia bisa bercerita gegitu dan begini berdasarkan sumber yang sangat dipercaya yaitu  dari buku catatan yang ditinggalkan oleh orang yang pernah melihat dan merasakan rasa gula tersebut. Nah karena kita tahu bahwa sumbernya valid maka kesaksian kita atas gula meningkat menjadi kesaksian nomor dua yaitu kita membenarkan kesaksian orang yang pernah melihat dan merasakan gula tersebut, yang mana kemudian orang tersebut mewariskan pengalaman dan petunjuknya tentang gula itu dalam suatu buku catatan lengkap.

Jika suatu saat karena pencarian kita, maka kita berjumpa dengan gula yang dimaksud maka kita tahu rupa gula itu. Kemudian kita mencicipi gula itu, maka kita tahu rasanya. Nah pada tataran ini kita telah mengalami penyaksian langsung atas  wujud , sifat dan rasa (perilaku) gula tersebut dan sekaligus kita semakin membenarkan berita yang disampaikan oleh orang yang telah mewariskan catatan tersebut. Jika suatu saat ada orang yang bercerita bahwa gula itu rasanya pahit maka kita menolak kesaksian orang tersebut, bahkan hinga diancam penggal leherpun kita tak akan mengubah kesaksian kita bahwa gula itu manis rasanya.

Demikianlah sekedar analogi penyaksian atau syahadah. Kita menjadi saksi terhadap kebenaran atas apa-apa yang telah disampaikan Allah melalui wahyu-Nya, kitab-Nya. Dan kita juga penjadi saksi atas kebenaran Utusan-Nya yang menjadi perantara dan sekaligus menjadi contoh valid atas pelaksanaan wahyu tersebut. Semoga sholawat serta salam senantiasa dikucurkan atas beliau, Nabi Besar Muhammad beserta para nabi dan rasul lainnya ('Isa ibnu Maryam as, Ibrahim as, Musa as, Nuh as, Adam as  serta  para nabi dan rasul semuanya). Serta segala puji-puja serta syukur terimakasih bagi Allah Tuhan semesta alam.

Salam, Tiknan Tasmaun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun