Jika anda tinggal di Jakarta dan ada sanak saudara dari daerah datang mengajak ke pantai, apa yang terlintas di pikiran anda? Hampir pasti yang terlintas adalah mengajaknya ke Taman Impian Jaya Ancol dan mengunjungi pantainya. Kenapa hanya Ancol? karena mungkin itulah satu-satunya pantai yang tersisa yang masih layak dinikmati. DKI Jakarta ternyata mempunyai garis pantai yang panjangnya kira-kira 32km. Tetapi hampir tidak ada pantai publik yang bisa dinikmati dengan cuma-cuma. Yang tersisa hanya sekitar 1 km di bagian timur yaitu pantai marunda dan dibagian barat yaitu pantai kamal muara yang praktis tidak bisa dinikmati karena merupakan pantai mangrove. Selebihnya pantai Jakarta dikuasai oleh Pergudangan, Industri, Perumahan Elit, Otoritas Pelabuhan, Taman wisata komersil, serta beberapa kampung nelayan yang menyita bibir pantai. Pantai marunda di sebelah timur, hanya tersisa sekitar 1km untuk masyarakat umum. Di pantai inilah ada rumah legenda si pitung. Pantainya cuma berbentuk tanggul dan dilengkapi beberapa rumah nelayan sederhana yang menjual makanan. Pengunjung bisa datang dengan kendaraan dan memarkirnya di areal yang telah disediakan dengan membayar retribusi parkir. Tetapi pantainya kotor, banyak sampah dan sangat tidak tertata membuat orang malas pergi ke sana. Sangat logis akhirnya anda akan memutuskan pergi ke TIJ Ancol meski harus menguras kocek lebih. Tidak ada pilihan lain. Itulah satu-satunya pantai yang “representativ”. Ada pasir, deburan ombak dan tempat duduk-duduk yang bersih dan lumayan nyaman. Inilah sebuah potret dosa pengambil keputusan. Seharusnya yang namanya pantai itu adalah milik publik. Maksudnya, masyarakat umum berhak memiliki akses yang gratis/cuma2 dan mudah untuk pergi ke pantai (kalau cuma retribusi parkir dan uang kebersihan sih OK jika dipungut). Sangat lucu sebuah ibukota yang terletak di pinggir pantai tidak punya pantai publik yang memadai. Sebagai perbandingan di beberapa negara maju, pantai adalah milik publik. Setiap orang berhak mengakses tanpa dipungut bayaran. Sehingga, seperti di Australia, anda bisa berjalan menyusuri pantai mengelilingi benua Australia sampai kembali lagi ke titik semula tanpa pernah dianggap melakukan “trespassing”. Pengecualian adalah ketika melewati instalasi/pangkalan militer, Otoritas pelabuhan bongkar muat eks-im, atau instalasi vital seperti pembangkit listrik, itupun cuma dipagari secukupnya dan tidak berlebihan. Tidak ada rumah/perusahaan yang mempunyai hak eksklusif atas pantai yang membuat orang lain tidak bisa lewat di situ. Kontras dengan Jakarta, semua pantai sudah dikapling-kapling oleh pemilik modal bekerja sama dengan Pemda. Konon semua bibir pantai, sekarang ini cuma dikuasai oleh 7 perusahaan yang dulu sudah diberi konsesi di jaman eyang Soeharto. Sisa pantai yang tinggal sedikit harus dibagi dengan kampung nelayan dan pantai publik. Bibir pantai yang sudah habis dikapling menghidupkan kembali ide reklamasi. Ide terakhir adalah membuat pulau-pulau kecil kira-kira beberapa ratus meter dari bibir pantai dan akan dibangun bangunan seperti apartemen dsb. Ini jelas adalah akal-akalan dengan mencontoh ide UEA, Bahrain, atau Singapore. Negara-negara tersebut melakukan reklamasi karena memang negaranya tidak sebesar Indonesia. Ada perhitungan advantage dengan melakukan pengurukan bagi negara-negara tersebut. Sementara tanah Indonesia masih luas. Seharusnya bibir pantai Jakarta jangan diuruk/dirubah dan kapital yang ada sebaiknya digunakan untuk pembangunan di belahan bumi Indonesia lainnya. Belajar dari negara maju, berikut beberapa butir yang jadi pertimbangan dalam mengelola tata ruang khususnya daerah koastal: 1. Pantai adalah milik publik. Tidak boleh ada perorangan/kelompok swasta yang berhak menguasai pantai dan menutup akses kepada publik, kecuali beberapa pengecualian objek vital seperti pangkalan militer, pembangkit listrik, dan sejenisnya. 2. Semua bangunan harus berjarak minimal 200-300 meter dari garis pantai sebagai ruang publik menikmati pantai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H