Temu Inklusi merupakan ajang pertemuan difabel tingkat nasional, baik secara individu, dari organisasi maupun para pemerhati isu difabel, diinisiasi oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia.
Bersama Program Peduli saya berkesempatan mengikuti Temu Inklusi 2018 pada, Rabu (24/10). programpeduli.org 'Mewujudkan Indonesia yang Inklusif terhadap Orang dengan Disabilitas'.
Temu Inklusi merupakan wadah terbuka yang mempertemukan berbagai pihak pegiat inklusi Difabel. Gerakan kolektif untuk mendorong kebijakan yang mendukung inklusi difabel pun membuahkan hasil positif dengan disahkannya Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Tahun 2017 dan 2018 merupakan momentum perubahan kebijakan isu Difabel yang cukup penting. Lahirnya UU Disabilitas perlu diterjemahkan lebih lanjut dalam aturan-aturan (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, serta Peraturan Presiden), yang kesemuanya perlu dikawal bersama.
Kelompok Kerja (POKJA) UU Disabilitas, bersama-sama dengan sejumlah DPO telah bersama-sama mengadvokasi dan mengawal lahirnya sejumlah Peraturan Pemerintah, termasuk di dalamnya Rencana Induk Pembangunan Inklusif Disabilitas (RIPID).
Bersama itu semua, masih banyak inisiatif lain yang dilakukan oleh beragam komunitas dan memberikan kontribusi positif untuk menjawab tantangan atas inklusi Difabel dalam berbagai sektor kehidupan. Semua itu penting untuk terus dirawat dan diperbesar.
Untuk itulah, penyelenggaraan Temu Inklusi 2018 dirancang sebagai ruang terbuka berbagi ide-ide solutif serta praktik-praktik baik yang telah memberikan dampak terhadap perwujudan inklusi Difabel.
Melalui ruang dua tahunan inilah, diharapkan semangat jejaring, kolaborasi serta bertukar ide dan
inisiatif dapat terjalin dan terus membesar sebagai sebuah gerakan sosial untuk Indonesia yang inklusif (Bhinneka Tunggal Ika).
Sejalan dengan hal itu, Program Peduli memiliki misi mewujudkan sebuah gerakan Inklusi Sosial yang mengajak masyarakat luas untuk bertindak setara-semartabat dalam kehidupan sehari-hari.
Program Peduli ingin menciptakan seluruh elemen masyarakat agar mendapat perlakuan yang setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara, terlepas dari perbedaan apapun.
Berbicara orang dengan disabilitas, saya yakin mereka dapat meraih kemandirian secara ekonomi, fisik dan sosial dengan pemberdayaan yang melibatkan seluruh komponen dalam masyarakat.
Temu Inklusi 2018 ini pun menjadi ruang berbagi inovasi-inovasi terbaru gerakan sosial difabel di Indonesia. Selain itu, menjadi tolok ukur dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul di kehidupan sosial difabel.
Tentunya dalam mengakomodir kebutuhan difabel akan kebutuhannya terkait aksesibilitas infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat, bukanlah merupakan hal yang mudah. Banyak difabel yang bermukim di desa, namun desa pulalah yang sering menjadi tempat peminggiran dan diskriminasi bagi difabel.
Meskipun demikian, bukan berarti melibatkan difabel sebagai subyek pembangunan tidak dapat diwujudkan. Saat ini telah banyak lembaga yang mempunyai program terkait pelibatan dalam subyek pembangunan.
Dalam acara Temu Inklusi 2018 ini saya pun berkesempatan mengikuti Lokakarya Tematik dari Program Peduli Foundation tema dari Lokakarya Tematik ini mengangkat isu tentang 'Agama, Budaya dan Difabel'.
Menghadirkan dua narasumber yaitu Herman Sinung Janutama yang mewakili difabel dari perspektif budaya, seorang pemerhati budaya serta penulis buku berjudul Difabel dalam Kacamata Budaya Jawa. Hadir pula narasumber yang mewakili difabel dari perspektif agama yaitu, KH. Imam Aziz, ketua PBNU.
Herman Sinung Janutama mengemukakan pendapatnya tentang difabel dalam masyarakat Jawa itu adalah bhineka tunggal ika, difabel atau tidak semua sama. "Golong Gilig Trajumanggala" sendiri merupakan sebuah nasihat agar seluruh lapisan masyarakat bersatu padu untuk menciptakan tatanan kehidupan yang adil dan makmur.
"Pendidikan Wayang itu refleksi dan alat peraga di dalam masyarakat Jawa. Maka, ada wayang yang secara fisik tidak sempurna seperti tokoh-tokoh dalam Punokawan. Aggotanya terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong."
Namun, apakah semua pecinta wayang, terutama generasi muda yang gemar menonton pertunjukan tradisional ini mengetahui apa makna dan filosofi yang terkandung dari tiap tokoh di Punokawan itu sendiri?
Dengan demikian dapat dikatakan setiap tokoh dalam pewayangan mewakili sifat dan watak dari manusia sehingga cerita yang ada dalam pewayangan dapat menjadi pembelajaran untuk memaknai hidup.
"Wayang-wayang tersebut dikhususkan. Kenapa dikhususkan? Karena dibutuhkan! Mereka itu lebih sensitif. Ingin tahu perlakuan masyarakat Jawa terhadap difabel? Nontonlah pertunjukan wayang," tutur Herman Sinung Janutama.
Sementara dalam perspektif agama, disabilitas dalam pandangan KH. Imam Aziz, salah satunya yang ia singgung adalah penyelenggaraan fasilitas umum. Konsep rukhsah yang merupakan dispensasi dalam Islam ini menurutnya dapat menjadi dilema ketika hal tersebut terkait masalah penyelenggaraan fasilitas umum terhadap penyandang disabilitas.
"Contoh kecil saat penyandang disabilitas ini adalah seorang tunarungu. Ketika ia melaksanakan shalat Jumat saat khotbah berlangsung mau tidak mau penyandang disabilitas ini mengalami diskriminasi akibat tidak adanya fasilitas, sarana yang memudahkannya bisa mendengar khotbah Jumat karena keterbatasan yang dimiliki para penyandang disabilitas tidak diikuti oleh ketersediaannya sarana itu," terang KH. Imam Aziz.
Dengan masih kurang adanya perhatian di beberapa bidang, dirinya berharap kedepan pihak-pihak atau stakeholder, para penyelenggara ini mampu memperbaiki pelayanan fasilitas-fasikitas umum yang wajib untuk dipenuhi. Jika, fasilitas umum ini terpenuhi diharapkan bisa memberikan akses terhadap siapa saja yang membutuhkan terutama bagi para penyandang disabilitas.
"Berbicara kesempurnaan Tuhan. Kita semua yang ada di sini adalah cerminan kesempurnaan Tuhan. Difabel yang lahir dengan kekurangan, justru kesempurnaannya ada di situ. Proses hingga lahirnya sama, kok hasilnya beda? Dan itu bisa hidup dan bertahan. Kalau tidak ada yang namanya kesempurnaan Tuhan tidak mungkin itu terjadi bukan," tutur Cak Fuad sebagai moderator mengakhiri diskusi lokakarya tematik siang itu.
Suharto, Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia menyampaikan, Temu Inklusi ini merupakan event yang diselenggarakan dua tahun sekali. Kedepan, akan direncanakan kegiatan ini dilaksanakan di daerah lain, agar semangat inklusi bisa lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H