Gunung yang menempati posisi tinggi keempat di Jawa Barat menjadi tujuan dalam perjalanan berikutnya, kali ini dengan beberapa sosok yang baru dikenal. Gunung Cikuray dengan ketinggian 2.821 mdpl ini penuh dengan kekhasan tersendiri, yakni medan curam dengan tanjakan-tanjakan yang menukik tajam. Berangkat dari Terminal Kp. Rambutan sampai akhirnya tiba di Terminal Garut sesaat sebelum adzan shubuh berkumandang. Setelah bersiap-siap sholat, sarapan, dan repacking, truk yang akan mengantar menuju titik awal pendakian kali ini, yakni pos pemancar pun akhirnya tiba. Memakan waktu sekitar 40-60 menit, perjalanan menggunakan truk menuju pos pemancar pun dilalui dengan melewati beberapa desa dengan pemandangan yang rasanya terlalu sayang untuk dibiarkan begitu saja. Hamparan tanaman dan bukit-bukit seolah menjadi semacam penyangga dari tempat tujuan yang akan segera disambangi saat itu.
Tiba di Pos Pemancar kami gunakan untuk kembali merapikan perlengkapan sambil memastikan stok air yang dibawa, karena hingga puncak sana akan sangat sulit menemukan sumber air. Dari sini sudah mulai terlihat pesona Gunung Cikuray yang kerucut dengan trek menanjak mulai dari awal melangkah seolah sedang terjaga dalam tidurnya menanti para pendaki untuk lebih mendekat padanya, mendekat pada Tuhan. Pos 1- Pos 5 Hamparan tanaman teh menyapa pendakian kali ini menuju pos satu, dengan medan yang tidak terlalu curam. Ini bisa membuat para pendaki lebih beradaptasi sebelum benar-benar dihadapkan dengan medan yang sangat curam sepanjang pendakian menuju puncak Gunung Cikuray. Diawali dengan jalan setapak dengan sisi kanan kiri yang dipenuhi oleh perkebunan teh, kemudian dilanjutkan dengan bukit ilalang, hingga akhirnya pelan-pelan pendakian pun memasuki area hutan lebat menuju puncak bayangan yang bisa ditempuh sekitar 5-6 jam.
Kontur tanah yang cukup datar di setiap pos membuat para pendaki bisa sedikit lebih nyaman untuk beristirahat sejenak. Karena sebelumnya kondisi medan cenderung terus-terusan menanjak, maka menemukan tanah yang datar menjadi semacam bonus tersendiri. Rombongan pendakian terpecah menjadi beberapa bagian namun tetap teratur dan saling menunggu. Sambil menunggu rombongan yang tertinggal, kami menghabiskan nasi kuning yang sempat dibeli saat sarapan di warung dekat mesjid di terminal pagi tadi.
Medan yang curam dengan kontur yang rapat semakin terlihat pada perjalanan menuju pos berikutnya. Kemiringan yang lebih terjal semakin terasa, hingga membuat anggapan bahwa ‘Di Cikuray, lutut bertemu siku dan dagu’ itu benar adanya. Kondisi trek yang semakin menukik dengan tanjakan terjal dan akar belukar dari pepohonan jadi suasana yang menyertai perjalanan pendakian.
Malam itu langit menurunkan hujan, dan udara semakin meneriakkan dingin yang menyengat. salah satu tenda perempuan, tepatnya tenda saya rupanya terkena imbas dari hujan malam itu. Air hujan masuk ke tenda hingga saya bersama 3 perempuan cantik lainnya terpaksa mengungsi di tenda lain, sementara tenda kami diperbaiki. Hujan deras malam itu tidak terlalu mencekam, tapi malam itu dingin mulai menusuk dan saya cuma khawatir kedinginan. Untunglah tidak berapa lama tenda kami aman, dan sempitnya tenda yang diisi oleh 4 orang membuat kami tidur dengan saling merapat, selain juga untuk menghindari kedinginan tentunya. Mata pun mulai terpejam, seolah memberi pesan kepada sekujur tubuh untuk beristirahat dan memulai perjalanan esok pagi.
Read also: http://tikasylviautamimusimkedua.blogspot.com/2013/07/menyapa-keheningan-kota-garut-di.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H