Mohon tunggu...
Tika Sylvia
Tika Sylvia Mohon Tunggu... -

Head of Marketing foodpanda Indonesia|Marketing Communication|PublicRelation||Digital Enthusiast|Philosophy Univ.Indonesia - www.tikasylviautami.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menyapa Keheningan Kota Garut di Ketinggian 2.821 Mdpl, Gunung Cikuray

19 Juli 2013   23:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:18 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunung yang menempati posisi tinggi keempat di Jawa Barat menjadi tujuan dalam perjalanan berikutnya, kali ini dengan beberapa sosok yang baru dikenal. Gunung Cikuray dengan ketinggian 2.821 mdpl ini penuh dengan kekhasan tersendiri, yakni medan curam dengan tanjakan-tanjakan yang menukik tajam. Berangkat dari Terminal Kp. Rambutan sampai akhirnya tiba di Terminal Garut sesaat sebelum adzan shubuh berkumandang. Setelah bersiap-siap sholat, sarapan, dan repacking, truk yang akan mengantar menuju titik awal pendakian kali ini, yakni pos pemancar pun akhirnya tiba. Memakan waktu sekitar 40-60 menit, perjalanan menggunakan truk menuju pos pemancar pun dilalui dengan melewati beberapa desa dengan pemandangan yang rasanya terlalu sayang untuk dibiarkan begitu saja. Hamparan tanaman dan bukit-bukit seolah menjadi semacam penyangga dari tempat tujuan yang akan segera disambangi saat itu.

Tiba di Pos Pemancar kami gunakan untuk kembali merapikan perlengkapan sambil memastikan stok air yang dibawa, karena hingga puncak sana akan sangat sulit menemukan sumber air. Dari sini sudah mulai terlihat pesona Gunung Cikuray yang kerucut dengan trek menanjak mulai dari awal melangkah seolah sedang terjaga dalam tidurnya menanti para pendaki untuk lebih mendekat padanya, mendekat pada Tuhan. Pos 1- Pos 5 Hamparan tanaman teh menyapa pendakian kali ini menuju pos satu, dengan medan yang tidak terlalu curam. Ini bisa membuat para pendaki lebih beradaptasi sebelum benar-benar dihadapkan dengan medan yang sangat curam sepanjang pendakian menuju puncak Gunung Cikuray. Diawali dengan jalan setapak dengan sisi kanan kiri yang dipenuhi oleh perkebunan teh, kemudian dilanjutkan dengan bukit ilalang, hingga akhirnya pelan-pelan pendakian pun memasuki area hutan lebat menuju puncak bayangan yang bisa ditempuh sekitar 5-6 jam.

Kontur tanah yang cukup datar di setiap pos membuat para pendaki bisa sedikit lebih nyaman untuk beristirahat sejenak. Karena sebelumnya kondisi medan cenderung terus-terusan menanjak, maka menemukan tanah yang datar menjadi semacam bonus tersendiri. Rombongan pendakian terpecah menjadi beberapa bagian namun tetap teratur dan saling menunggu. Sambil menunggu rombongan yang tertinggal, kami menghabiskan nasi kuning yang sempat dibeli saat sarapan di warung dekat mesjid di terminal pagi tadi.

Medan yang curam dengan kontur yang rapat semakin terlihat pada perjalanan menuju pos berikutnya. Kemiringan yang lebih terjal semakin terasa, hingga membuat anggapan bahwa ‘Di Cikuray, lutut bertemu siku dan dagu’ itu benar adanya. Kondisi trek yang semakin menukik dengan tanjakan terjal dan akar belukar dari pepohonan jadi suasana yang menyertai perjalanan pendakian.

Pos 6, Puncak bayangan Tiba di Pos VI yang merupakan puncak bayangan saat sore tiba. Kondisi ramai di puncak membuat kami kehabisan tempat jika harus mendirikan tenda di sana, alhasil saat itu juga kami memutuskan untuk bermalam di puncak bayangan dan melanjutkan pendakian esok pagi. Lokasi di Puncak bayangan ini sedikit lebih datar hingga bisa memuat beberapa tenda. Malam masih belum terlalu dingin dan acara masak-masak pun dimulai. Pendakian kali ini ada dua chef yang jago masak, tentu saja sayang rasanya kalau tak memanfaatkan kelihaian memasak mereka. Siapa sangka, bersama orang-orang yang belum terlalu di kenal, malam ini kami makan malam bersama dengan keakraban yang menyeluruh. Trashbag dibentangkan sebagai alas untuk makan bersama, di atasnya ditaruh nasi, mie goreng dengan berbagai lauk yang sudah disiapkan lainnya.

Malam itu langit menurunkan hujan, dan udara semakin meneriakkan dingin yang menyengat. salah satu tenda perempuan, tepatnya tenda saya rupanya terkena imbas dari hujan malam itu. Air hujan masuk ke tenda hingga saya bersama 3 perempuan cantik lainnya terpaksa mengungsi di tenda lain, sementara tenda kami diperbaiki. Hujan deras malam itu tidak terlalu mencekam, tapi malam itu dingin mulai menusuk dan saya cuma khawatir kedinginan. Untunglah tidak berapa lama tenda kami aman, dan sempitnya tenda yang diisi oleh 4 orang membuat kami tidur dengan saling merapat, selain juga untuk menghindari kedinginan tentunya. Mata pun mulai terpejam, seolah memberi pesan kepada sekujur tubuh untuk beristirahat dan memulai perjalanan esok pagi.

Puncak Jam di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul satu pagi, ketika dari luar tenda terdengar samar-samar ributnya gelak tawa dari teman-teman yang kedengarannya sedang memasak. Oh, rupanya beberapa lelaki mulai kelaparan dan mereka memasak dengan ribut. Well, akhirnya suara mereka justru jadi semacam alarm alami yang membangunkan kami satu per satu. Cuaca malam ini cukup dingin namun masih belum terlalu menggigil, dan pendakian pun dimulai berbekal senter dan headlamp. Perjalanan menuju puncak yang memakan waktu sekitar 2-3 jam ini dipenuhi dengan jalur berbatu yang sudah mulai terbuka vegetasi hutannya. Beberapa kali, saya sempat hampir menyerah karena tekstur jalanan yang terus menanjak tanpa ampun, disertai akar belukar yang menghadang di mana-mana, rasanya mau menyerah saja. Dari beberapa gunung yang pernah ditempuh, saya harus bilang pendakian kali ini adalah pendakian yang membuat saya harus menghela nafas berkali-kali, pendakian dengan bentuk menanjak yang seperti tidak pernah usai. Suasana puncak pagi itu sudah sangat ramai setibanya kami di sana, banyaknya tenda yang didirikan membuat suasana semakin padat. Pagi itu, di atas ketinggian 2.821 mdpl, kami sholat shubuh berjamaah, menyapa Tuhan serta langit yang membentang di penciptaan dunia. Tampak juga sebuah shelter permanen yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat maupun bermalam. Shelter yang sebelumnya terdapat banyak coretan, kini mulai rapih yang tampaknya telah dicat ulang oleh pendaki lain yang peduli terhadap lingkungan. Sambil menunggu matahari terbit, para pendaki akan dimanjakan dengan pemandangan kota Garut yang sangat indah dengan nyala lampu yang menghiasi, dari ketinggian di area puncak Cikuray. Terlihat jajaran pengunungan dari bagian sebalah barat yang menjulang hingga ke arah utara, seperti Gunung Papandayan dan Gunung Guntur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun