2. Peran Tenaga Ahli Kejiwaan.
Ada beberapa profesi yang dapat membantu masyarakat dalam menangani masalah kejiwaan, yaitu konselor, psikolog dan psikiater.
Konselor merupakan profesi yang berperan penting sebagai seseorang yang dapat memberikan nasihat, bimbingan, dan konsultasi yang netral bagi konseli (orang yang menghadapi masalah).
Psikolog adalah seseorang yang mengenyam Pendidikan di bidang psikologi, yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku individu, atau menganalisa mengapa terdapat perbedaan di antara individu dalam menangani sumber stress (N. Daulay, 2019)
Psikiater adalah profesi sebagai dokter yang mengenyam pendidikan di bidang Psikiatri. Psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkhususkan diri dalam pencegahan, diagnosis, dan penyembuhan bagi orang-orang yang menderita gangguan emosi serta gangguan mental (Feffrey S. Nevid, dkk 2005 dikutip Marlina).
Peran Tenaga Ahli Kejiwaan tersebut bukanlah muncul tanpa sebab. Dikutip Nur Hartini, kisah tentang pengobatan gangguan mental yang sangat berpengaruh pada masa itu, yaitu Clifford Beers dalam bukunya A Mind that Found Itself (1945), yang menceritakan kisahnya sebagai mantan yang pernah disiksa, ia menyebutkan bahwa yang sesungguhnya paling dibutuhkan oleh seseorang dengan gangguan emosi adalah teman yang penuh kasih sayang (compassionate friend). Menurut Dr. Denny Thong, banyak masyarakat memiliki pandangan bahwa orang yang jiwanya terganggu disebabkan oleh hal-hal spiritual atau gaib. Selanjutnya ia berpendapat jika pandangan itu terus berlanjut, maka orang dengan gangguan jiwa tidak akan dapat ditangani dengan professional.
3. Dampak negatif bagi diri sendiri.
Mendiagnosis sendiri gangguan kesehatan mental juga memilki dampak negatif bagi diri sendiri. Apalagi jika tidak memiliki kemampuan atau ilmu pengetahuan tentang kejiwaan dan tidak dibarengi dengan pengobatan secara profesional. Beberapa dampak yang mungkin timbul adalah :
1. Dapat menambah kecemasan, keras kepala bahkan obsesif pada diagnosis yang mereka putuskan sendiri (dikutip dari Akbar, 2019).
2. Kesalahan dalam penanganan penyakit tersebut. Misalnya : setelah mendiagnosis kemudian berinisiatif membeli obat-obatan, yang bisa saja tidak tepat.
Dari beberapa alasan tersebut, saya rasa sudah cukup sebagai pertimbangan untuk menghentikan kebiasaan self-diagnosis secara berlebihan untuk segala gejala penyakit, khususnya dalam hal ini terhadap gangguan kesehatan mental. Mintalah bantuan para ahli untuk mendapatkan penanganan yang tepat.