Mohon tunggu...
tika dian pratiwi
tika dian pratiwi Mohon Tunggu... -

Timika, Magelang, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pengelolaan Limbah Tailing Sebagai Perwujudan Freeport Membina Hubungan Baik dengan Pemerintah

14 Maret 2014   13:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh Tika Dian Pratiwi

Freeport merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang memiliki kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. Berdiri pada tahun 1967 atas izin pemerintah Orde Baru, PTFI mengelola kekayaan alam Papua dengan menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Saat ini, PTFI beroperasi di daerah dataran tinggi Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.

Sebagai perusahaan yang memiliki tambang emas terbesar, Freeport memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. Tidak mengherankan jika Freeport memiliki banyak karyawan untuk menyukseskan pemasarannya tersebut. Hal ini menandakan bahwa Freeport berkontribusi terhadap pemberdayaan kota Timika, yaitu dibuktikan dengan adanya peluang bagi masyarakat Timika untuk bekerja di PTFI ataupun di anak perusahaan Freeport lainnya.

Hal tersebut tentulah menjadi nilai positif bagi kota Timika. Akan tetapi, di sisi lain Timika juga mengalami kerusakan serius dan menderita kerugian atas hadirnya aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PTFI.

Seperti informasi yang dilansir melalui Antaranews.com, dalam berita yang berjudul “Kerusakan Lingkungan yang Ditimbulkan Freeport Parah” dikatakan bahwa aktivitas PTFI menyebabkan kerusakan dan tercemarnya lingkungan di sepanjang sungai Ajkwa dari hulu sungai hingga mencapai pesisir laut. Limbah yang dihasilkan oleh Freeport berupa limbah tailing yang mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3). Bahkan, limbah tersebut telah mencapai pesisir laut Arafura. Pembuangan tailing oleh Freeport melampaui baku mutu total suspended solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia. Audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, juga menemukan bahwa tailing dan batuan limbah Freeport mengandung bahan yang mampu menghasilkan cairan asam dan berbahaya bagi kehidupan akuatik. Sejumlah spesies akuatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing dan batuan limbah Freeport tersebut. Spesies yang dimaksud mencakup ikan, amfibi, reptil, moluska, dan lain sebagainya.

Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 20, tertulis bahwa jika tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup. Namun nasi telah menjadi bubur, kini sungai Ajkwa sudah terlanjur tercemar dengan limbah tailing.

Sebagai limbah yang tidak bisa dihindari dari hasil aktivitas pertambangan, tailing merupakan limbah yang dihasilkan dari proses penggerusan batuan tambang (ore) yang mengandung bijih mineral untuk diambil mineral berharganya. Tailing umumnya memiliki komposisi sekitar 50% batuan dan 50% air sehingga sifatnya seperti lumpur (slurry).

Akan tetapi, meski menjadi sisa hasil tambang, pada umumnya tailing masih mengandung mineral-mineral berharga seperti kandungan emas. Sehingga, ribuan warga kota Timika berduyun-duyun melakukan pendulangan di lokasi pengendapan limbah milik PTFI. Lokasi tersebut terletak di antara kota Timika dan kampung Nayaro.

Limbah tailing dapat dikatakan sebagai sampah dan berpotensi mencemarkan lingkungan. Tidak hanya itu saja, tailing juga mampu memberikan efek yang kurang baik bagi kesehatan. Akan tetapi, fakta itu tidak mampu menghalangi ataupun menakut-nakuti warga Timika untuk tidak lagi melakukan aktivitas mendulang.

PTFI selaku perusahaan tambang yang menghasilkan pemasukan dengan jumlah yang besar, tentu mendapat perhatian yang ekstra dari negara dan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang melontarkan kritik bahkan menggelar aksi unjuk rasa atas kinerja Freeport yang dituding merusak alam Papua. Tidak hanya itu saja, Freeport juga dinilai merugikan masyarakat lokal.

Seperti demonstrasi puluhan mahasiswa Papua di Semarang yang mendesak pemerintah menutup PT Freeport. Mereka menilai perusahaan asing asal AS itu banyak merugikan masyarakat lokal. Misalnya saja pada tahun 2002, keuntungan Freeport mencapai US$ 398,5 juta. Lalu pada tahun 2003, keuntungan bertambah menjadi US$ 484 juta. Akan tetapi, pemerintah hanya mendapatkan 1,3-1,6 persen saja. Bahkan, kehidupan masyarakat Papua pun tidak menunjukkan kesejahteraan dan kemakmuran yang signifikan dengan hadirnya PTFI di tanah Papua.

Menanggapi berbagai kritik tersebut, Freeport ternyata memiliki cara tersendiri untuk mencuri hati masyarakat, khususnya dalam menangani masalah limbah. Dikutip dari situs resminya http://ptfi.co.id/id, terdapat beberapa kegiatan sosial yang dilakukan PTFI dengan tujuan memberdayakan lingkungan.

Salah satu upaya yang dilakukan Freeport dalam mengelola limbah atau yang sering disebut Sirsat (Pasir Sisa Tambang) adalah dengan melakukan penelitian. Hasil penelitian tersebut mengatakan, apabila pertambangan di Freeport berakhir, daerah pengendapan limbah dapat direklamasi dengan vegetasi alamiah atau dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, kehutanan, atau perikanan. Bahkan, PTFI juga mencantumkan dengan jelas bahwa setiap tahun digelontorkan dana sebesar 15,5 juta dolar AS untuk melaksanakan program pengelolaan sirsat tersebut.

Tidak hanya itu saja, Freeport juga menjelaskan bahwa pihaknya telah melaksanakan suatu program untuk mendaur ulang sirsat sebagai bahan campuran beton dalam pembangunan prasarana lokal. Disebutkan bahwa sejak tahun 2007, Freeport telah membangun jalan lebih dari 39 kilometer di provinsi Papua dengan menggunakan sirsat sebagai unsur utama.

Beberapa tahun yang lalu saya pribadi pernah mengunjungi mil 21, sebuah lokasi yang digunakan Freeport untuk memanfaatkan limbah tailing. Di lokasi tersebut, tailing digunakan sebagai media bercocok tanam. Bahkan terdapat pula kolam ikan di atas limbah tailing tersebut. Tidak jauh dari lokasi kolam ikan, terdapat pula tempat penangkaran berbagai jenis spesies kupu-kupu. Mil 21 tersebut dapat dikatakan sebagai wujud komunikasi Freeport kepada masyarakat bahwa limbah tailing tidak selamanya berdampak buruk bagi lingkungan, melainkan juga dapat dimanfaatkan dengan baik.

Hal ini tidak berbeda jauh dengan apa yang diberitakan oleh Detik.com. Melalui salah satu beritanya, dijelaskan bahwa Freeport memiliki Pusat Penelitian dan Pengembangan Reklamasi Tambang yang terletak di kota Kuala Kencana, Timika. Dengan lahan tailing seluas 40 hektar yang disulap menjadi perkebunan, terdapat berbagai tanaman, baik jenis kayu keras seperti kayu besi atau merbau, pohon buah seperti pinang dan buah merah, maupun sayuran seperti bayam, cabe, kacang panjang dan terong-terongan. Hal ini juga seakan menjadi ajang pembuktian bagi Freeport kepada masyarakat, bahwa sisa pasir tambang yang dihasilkan dari pengolahan konsentrat tembaga adalah lahan yang aman untuk bercocok tanam.

Gambar: Sayuran terong dan kacang panjang yang tumbuh di atas limbah tailing PTFI

Berbagai upaya Freeport tersebut menurut saya, merupakan salah satu usaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah. Meski dihujam dengan berbagai kritik, Freeport ingin membuktikan bahwa mereka mampu menjaga, melestarikan dan memberdayakan lingkungan.

Pengelolaan limbah tailing juga mungkin saja sebagai salah satu cara Freeport dalam mendukung peraturan pemerintah yang terangkum dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di UU tersebut, dalam pasal 16 dijelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan, wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha. Pasal 17 pada poin 1 dan 2, pemerintah juga mewajibkan setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan melakukanpengelolaan bahan berbahaya dan beracun.Pengelolaan tersebut meliputi: menghasilkan,mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan membuang.

Peraturan Perundang-undangan:

Indonesia, Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997

PT Freeport Indonesia. 2013. Sekilas Tentang Kami PT Freeport Indonesia. Diakses dari http://ptfi.co.id/id/about/overview, pada 12 Maret 2014 pukul 17.00 WIB.

Antaranews.com. 2006. Kerusakan Lingkungan yang Ditimbulkan Freeport Parah. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/26764/kerusakan-lingkungan-yang-ditimbulkan-freeport-parah, pada 12 Maret 2014 pukul 17.15 WIB.

Indomigas.com. 2014. Tailing Sebagai Limbah dan Sumberdaya. Diakses dari http://www.indomigas.com/tailing-sebagai-limbah-dan-sumberdaya/, 12 Maret 2013 pukul 18.00 WIB.

Detik.com. 2006. Mahasiswa Papua di Semarang Desak Penutupan Freeport. Diakses dari http://news.detik.com/read/2006/03/01/140735/550308/10/mahasiswa-papua-di-semarang-desak-penutupan-freeport, 12 Maret 2014 pukul 18.30 WIB.

PT Freeport Indonesia. 2013. Pengelolaan Sirsat (Pasir Sisa Tambang). Diakses dari http://ptfi.co.id/id/csr/freeport-in-environment/sirsat-management, 12 Maret 2014 pukul 18.35 WIB.

Detik.com. 2012. Di Tembagapura Limbah Tambang Ditumbuhi Pohon dan Sayur. Diakses dari http://travel.detik.com/read/2012/11/26/173200/2097092/1025/1/di-tembagapura-limbah-tambang-ditumbuhi-pohon-dan-sayur, 12 Maret 2014 pukul 19.00 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun