Kata transformasi, beberapa hari ini sangat mengusik pikiran saya. Terlebih ketika kata itu dikaitkan dengan dunia pendidikan. Lebih khusus lagi, dikaitkan dengan SMA Negeri 4 Bojonegoro. Maka yang ada dalam benak saya adalah perubahan yang luar biasa. Lantas perubahan seperti apa yang dikehendaki?, Bukankah sebenarnya kitapun selalu mengalami atau menjalani perubahan?...
Berpuluh slide powerpoint menjadi santapan ketika ingin menjawab perubahan seperti apa yang dikehendaki dengan transformasi tersebut. Berbalut ketakutan dengan terjemahan sendiri, jangan-jangan perubahan yang akan, dan sedang dilaksanakan belum termasuk ke dalam kategori transformasi, masih sebatas perubahan yang biasa saja.
Globalisasi, otomatisasi dan digitalisasi, era disrupsi, industri 4.0, dan tantangan pandemi covid-19, adalah istilah-istilah yang sangat familiar berseliweran ditelinga kita sekarang ini yang menggambarkan bagaimana kondisi sesungguhnya yang terjadi, barangkali bisa menjadi awal kita merangkai bingkai transformasi dalam dunia pendidikan yang dikehendaki.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt dalam kritiknya terhadap teori evolusi dalam menjelaskan perubahan sosial mengatakan bahwa masyarakat bisa melakukan lompatan perubahan, dan tidak selalu terpaku pada tahapan-tahapan yang kaku.
Barangkali, disinilah transformasi itu dimaknai. Kita harus melakukan perubahan yang tidak hanya linear berpijak pada tahapan-tahapan yang jamak, tertapi harus melompat, melewati beberapa tahap.
Atau pun jika seandainya kita harus berubah dengan tahapan-tahapan step by step, kita harus melakukannya dengan cara-cara yang istimewa, tidak biasa. Maka transformasi sosial dan digitalisasi menjadi sebuah tawaran transformasi sekolah.
Purwanti Sundariyanti dalam artikel Transformasi Sosial dari Masyarakat Tradisional menjadi Masyarakat Modern mengatakan bahwa secara umum transformasi sosial diartikan sebagai suatiu proses pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan dalam masyarakat yang meliputi pola pikir yang berubah inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat.
Transformasi sosial dapat diamati dalam bentuk perubahan pola pikir, perilaku, dan budaya masyarakat dalam bidang sosial. Â Oleh karena itu setiap komponen sekolah, bapak atau ibu guru dan karyawan harus bisa melakukan perubahan mindset atau pola pikir dan perilaku.
Demikian pula dengan peserta didik. Maka yang segera perlu dipersiapkan adalah kegiatan-kegiatan maupun pembiasaan-pembiasaan yang mengarahkan peserta didik menuju perubahan pola pikir dan perilaku tersebut. Pertanyaannya, perubahan pola pikir dan perilaku seperti apa yang diinginkan?
Era disrupsi maupun industry 4.0 tuntutannya adalah sama, digitalisasi, otomatisasi, dan bergesernya dunia nyata ke dunia maya. Kompleksitas permasalahan yang muncul membutuhkan kompetensi tertentu untuk mejawabnya. Maka kemudian munculah istilah kecakapan hidup abad 21, literasi  dasar dan kualitas karakter.
Kecakapan hidup abad 21 meliputi kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Sedangkan literasi dasar mencakup kemampuan literasi digital, sains, numerasi, bahasa, dan yang lain. Kualitas karakter yang dibutuhkan adalah kemampuan beradaptasi dengan lingkungan termasuk kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan yang tak kalah penting adalah karakter moral sebagai warga dan bangasa Indonesia; diantaranya, religiusitas, nasionalis, disiplin, dan mandiri.
Oleh karena itu sudah sepantasnya dan seharusnya perubahan pola pikir dan perilaku yang menuju kepada pemenuhan tuntutan tersebut diteladankan oleh bapak atau ibu guru dan karyawan, disamping untuk mengedukasi peserta didik secara langsung maupun tidak langsung, juga sebagai bagian dari pertanggungjawaban profesi untuk selalu meningkatkan kompetensi sebagai pendidik dan tenaga kependidikan. Â Â Â Â
Dan yang tak kalah penting adalah semua kegiatan yang digagas sekolah baik akademik maupun non akademik harus berorientasi dan menuju kepada terbentuknya pola pikir dan perilaku peserta didik pada tuntutan tersebut.
Ada pembiasaan-pembiasaan dan kegiatan-kegiatan yang terancang dengan baik, dengan kurikulum yang jelas, dan indikator yang pasti. Bukan sekedar kegiatan yang bersifat "tiba-tiba". Sehingga benar-benar menjadi ajang bagi peserta didik untuk melakukan transformasi sosial secara beradab.
Digitalisasi dan otomatisai menjadi sebuah keharusan dalam era disrupsi dan industri 4.0. Terbukti yang tidak bisa mengikuti perubahan ini akan usang dan akhirnya tinggal menjadi prasasti atas kenangan bahwa pernah ada. Pandemi covid-19 telah "memaksa" transformasi dalam waktu cepat terhadap dunia pendidikan utamanya dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran daring/online. Pembelajaran tatap muka menjadi tatap layar. Pembelajaran on-site menjadi online. Dan perubahan inipun menjalar, berimplikasi pada aspek-aspek lain. Misal, sistem penilain dan pelaporannya.
Digitalisasi yang telah dimulai pada sistem pembelajaran, meski terkesan dipaksa oleh keadaan senyatanyalah pandemi ini menyadarkan kepada kita bahwa inilah kehidupan kita yang sekarang dan ke depan. Maka semua layanan pendidikan di semua lini harus berbenah menuju kearah digitalisasi dan otomatisasi.
Baik layanan pendidikan, administrasi, maupun kepegawaian. Baik yang bersifat layanan internal maupun eksternal kepada masyarakat. Tak perlu lagi menunggu keadaan dengan keragaman kesulitan dan kesusahan yang memaksa kita untuk berubah dan berbenah.
Proses digitalisasi memang bukanlah perkara mudah dan murah. Dibutuhkan perangkat IT yang memang tidak murah dan alih skill atau keterampilan yang tentunya berkaitan dengan kemampuan kualitas sumber daya manusia. Maka penganggaran yang tepat dan pelatihan-pelatihan secara kontinyu wajib untuk diadakan.
Dalam konteks ini pula, sekolah harus mampu membuka dan membaca peluang untuk membangun jejaring/network. Membangun jejaring untuk membesarkan dan membangun citra sekolah, dan membuat agar lulusan yang dihasilkan lebih usefull dan marketable di masyarakat. Serta menggunakan kekuatan dunia maya/virtual melalui beragam media sosial yang ada untuk mempopulerkan dirinya.
Karena kemampuan membranding diri melalui kekuatan media sosial tak terbantahkan lagi dampaknya bagi terbangunnya opini masyarakat terhadap seseorang, suatu kelompok atau suatu lembaga.
Sekarang saatnya untuk mengeksekusi segala mimpi-mimpi. Tahap demi tahap menjadi sebuah gerak linear kearah perubahan yang bersifat progress dan planned change, tentunya lebih baik, daripada sekedar jargon, yang kemudian mati, tanpa bukti.*
(Titin Sekartika, S.Sos Guru Sosiologi SMA Negeri 4 Bojonegoro)
Sumber Inspirasi: Ismail. Guru Sosiologi yang juga ketua Tim Pengembang Sekolah SMA N 12 Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H