Si suami mendekat ke arah anaknya. Dia lalu menjulurkan tangannya. Tapi tubuh anaknya tidak terangkat. Si suami mencoba mengambil anaknya kembali. Kali ini dia sadar apa yang terjadi: Tangannya tembus melewati tubuh anaknya.
Bingung, si suami melihat ke arah istrinya. Istrinya kembali menghapus satu butir air mata yang baru saja jatuh. Dia lalu berkata, ketika itu pada malam sabtu kamu menelpon aku, bahwa kamu akan pulang setelah mengantar orderan makanan itu. namun setelah itu kamu mengalami kecelakaan. kamu oleng terus menabrak pembatas jalan karena mau menyalip mobil di depan kamu, dan tepat pada saat itu di pembatas jalan ada besi yang menancap ke atas. setelah itu besi tersebut menancap ke kepalamu.
Si suami meraba bagian kanan kepalanya, ada bagian yang pecah, remuk, membentuk cekung ke dalam kepalanya. Hangat. Dia tidak berani melihat tangannya, karena dia tahu, ini pasti penuh darah. si suami melihat ke arah istrinya, Kenapa kamu gak bilang dari tadi?
Karena aku mau membiarkan kamu pamit, kata si istri. Â
 Si anak terbangun oleh rasa dingin yang asing di tengkuknya. Si anak membuka matanya, dia kebingungan. Si anak lalu duduk, dia melihat ibunya yang sedang menyeka pipi yang basah. Si anak lalu melihat ke arah depan. Dia tidak melihat apa-apa. Hanya mereka berdua di ruangan ini, dan cahaya bulan yang jatuh ke tembok. Sejenak, si anak merasakan rindu yang sangat deras di dadanya, seolah ada simpul kusut yang ditarik-tarik ke segala arah. Dia tahu, dia rindu dipeluk oleh ayahnyaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H