Mohon tunggu...
tigor munthe
tigor munthe Mohon Tunggu... Jurnalis -

Nasoadongsuraton

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdekanya Lapangan Merdeka Siantar

10 Maret 2018   11:41 Diperbarui: 10 Maret 2018   12:01 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus diakui salah satu program cantik Pemko Pematangsiantar tahun lalu adalah revitalisasi Taman Bunga atau Lapangan Merdeka yang berhadap-hadapan dengan Balai Kota Jalan Merdeka.

Ruang terbuka hijau itu menjadi salah satu destinasi bagi warga Kota Pematangsiantar, sekarang. Lapangan Merdeka yang dulu dikelilingi tembok besi, gelap di bagian dalam taman, seram karena dihuni warga yang suka main gelap-gelapan, tumpas sudah.

Lapangan itu terbuka. Telanjang. Tembok setinggi dua meter dirobohkan, trotoar diperlebar hingga tiga meter, di atas trotoar dipasang kursi besi dan lampu antik yang belakangan tak pernah sepi diduduki warga, terutama sore hingga malam hari.

Sejumlah fasilitas untuk anak-anak bermain, seperti ayunan, perosotan, hingga wahana skateboard juga dibangun. Rencananya, wahana permainan anak-anak itu akan ditambah dan dipercantik.

Dibangun juga identitas taman, yang hurufnya dibuat besar dan berwarna di atas tembok setinggi kurang lebih satu meter, yang akan tampak elok jelas jika malam hari dari ruas Jalan Merdeka.

Dulu lokasi itu amat semak dan disesaki pedagang, terutama kalau hari libur besar, Natal dan Lebaran. Lahan bisnis dan penghasilan dadakan, mulai dari gelar tikar sampai toilet jadi sumber pundi, rebutan dayang penguasa.

Track jogging yang memang sudah ada kian dan pijak refleksi sebanyak dua lapak di dua sudut berbeda sejak lama ada di sana. Tapi sebelumnya, amat jarang digunakan warga. Itu tadi, taman lebih dipakai buat aktivitas ekonomi dan pengunjung yang sedang jatuh cinta di malam, sore dan pagi hari.

Ternyata "penelanjangan" taman dari sekat tembok besi, bak meruntuhkan tembok Berlin. Akses dipermudah, warga pun datang tumpah ruah. Warga ke sana secara sadar tanpa perintah siapa pun, berlari, berjalan, mengolah raga hingga nongkrong di kursi antik.

Di suatu malam, rombongan anak muda, duduk di salah satu kursi antik menghadap Jalan Sudirman, persis depan eks Bioskop Ria. Para anak muda itu sebagian duduk di lantai trotoar. Mereka membawa gitar.

Mereka pun bernyanyi bersama, diiringi gitar kapuk membawakan lagu-lagu Batak. Lagu dan suasana yang mereka senandungkan menggiring imaji ke sudut purba kampung.

Kampung memang, selalu tentang anak muda, gitar, dan lagu. Mereka menyeruak mengisi lorong malam dan waktu. Jika dulu ada tuak, kini ada bandrek pelega kerongkongan dan penghangat tubuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun