Mohon tunggu...
Muhammad Ginanjar
Muhammad Ginanjar Mohon Tunggu... -

wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Junaidi di Angkutan Kota...

17 April 2013   09:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah cerita sehari-hari, hanya cerita biasa, yang seringkali luput dari perhatian… selamat menikmati…

Pagi itu, Junaidi seorang tukang urut panggilan, sedang asyik melamun di dalam sebuah angkutan kota. Pandangannya kosong menerawang pemandangan pasar tradisional, yang hiruk pikuk penuh sesak dengan pedagang sayur, buah, makanan, ada juga pedagang hewan piaraan seperti kelinci, burung, terlihat pula tukang becak, tukang bubur, dan pedagang makanan lainnya...semuanya terlihat sangat sibuk. Sampah yang berserakan dijalan, seolah tersenyum manakala para petugas kebersihan menyapu dan menggiring ke tempatnya…

Entah apa yang membuat menarik perhatian Junaidi, yang pasti saat itu Junaidi merasa sangat tenang dalam keramaian, tenggelam dalam kesibukan manusia dengan beragam profesi lengkap dengan tingkah polahnya. Junaidi merasa sangat nyaman.

Tenang dan Nyaman… sebagai pengamat.

Sebagai pengamat yang hanya bisa melihat, tanpa berusaha berpikir, tidak merasa mampu, tidak ikut campur, apalagi sampai menilai atau menghakimi. Pada ‘fase’ ini Junaidi merasa seperti seorang anak kecil yang hanya mampu ‘menonton’ dan menelan semua informasi yang terlihat apa adanya. Alhamdulillah pujinya, Menikmati itu saja Junaidi sudah sangat bersyukur. Sebuah moment ‘mahal’ dan ‘langka’, pikirnya dalam hati …

Tiba-tiba masuklah ke dalam angkutan kota, yang dilihat dari penampilan dan barang bawaannya, ia nampaknya seorang sales marketing asuransi.Seorang pria. Tak lama hp nya berdering. Dengan sigap ia mengangkat telp masuk tsb. Lalu berbicara lantang, namun sopan , sesekali ia tersenyum sambil berbicara. Rupanya ia mengadakan janji dengan lawan bicaranya di telp. Mungkin clientnya, pikir Junaidi.

Sadar merasa di perhatikan, sales tsb manggut sambil tersenyum menyapa Junaidi… “Pa..” sambil menyapa Junaidi.Junaidi hanya tersenyum sambil membalas anggukan sales tsb.

“wah dimana-mana sekarang macet ya …” timpal sales tsb, rasanya membuka pembicaraan dengan Junaidi. Junaidi hanya tersenyum sambil kebingungan mau membalas dengan kalimat apa…

Bagi Junaidi, berbicara adalah hal yang sangat mudah – tapi efek atau akibat dari kalimat yang terucap, seringkali bisa membuat pusing tujuh keliling. Oleh karena itu, ia selalu berhati hati dan memilih, kalimat yang tepat, yang dapat membuat lawan bicara merasa sejuk dan gembira…kalaulah tidak ada yang muncul di ujung lidah untuk dikeluarkan, minimal Junaidi berdoa, semoga diam dan senyumnya bisa memberi rasa Tenang dan Nyaman, …persis seperti apa yang Junaidi rasakan pagi ini….

“ia nih pa” balas junaidi singkat sambil tetap tersenyum. Lalu sales tsb berkata “dines dimana pa?” Tanya sales tsb sambil menatap tajam Junaidi. “saya mah tukang urut pa, dines dimana-mana, tergantung panggilan aja” jawab Junaidi sambil tersenyum, jawaban yang jujur, simple, apa adanya. “wah, boleh minta no hp nya pa? siapa saya tahu membutuhkan jasa bapak!” sahut sales tsb cepat, sorot matanya menunjukkan rasa tertarik, penuh penghargaan.

Kejujuran dan kesederhanaan lah yang membuat Junaidi banyak disukai oleh banyak orang. Rasanya, penghargaan dan rejeki akan mengikuti dengan sendirinya – secara sekaligus, apabila kita jujur dan sederhana. Dalam segala apapun. Begitulah pikir Junaidi. Begitulah yang selama ini ia buktikan, oleh karenanya ia jadikan prinsip hidupnya sehari-hari.

Tepat setelah bertukar no Hp diantara mereka berdua, masuklah dua orang pengamen – lelaki dan perempuan, bergaya ala ‘anak-punk’. Badan dan baju terlihat sama dekil dan lusuhnya. Rambutnya ditata sedemikan unik, anting lebih dari satu menghiasi setiap kupingnya, celananya ketat, tidak memakai baju hanya rompi jeans, dipenuhi oleh emblem dan asesoris terbuat dari logam, sedangkan yang perempuan, memakai kaos bergambar monster dipenuhi oleh darah, memakai kaca mata hitam. Gambar dikulit tangan (tato), bercorak tengkorak dan bunga. Entah apa maksudnya …

Mereka menyanyikan lagu, rasanya karangan mereka sendiri, yang jelas, syairnya berisi tentang kepahitan hidup dan betapa bersyukurnya mereka bila mereka mendapat uang dari dermawan…

Wajah sales nampak jijik dan kesal melihat dua orang pemuda pemudi tsb – dan menjauh.

Junaidi melihat tanpa ekspresi. Setelah selesai menyanyi dan meminta uang dari penumpang, termasuk Junaidi, barulah mereka turun sambil tak lupa mengucapkan terimakasih. Junaidi sendiri memberikan uang dua ribu rupiah kepada mereka.

“mau jadi apa tu anak-anak, kesian orang tuanya, kalau saya sih ga mau ngasih ke ‘begituan’, ga ngedidik dan jadi ‘tuman’…” sales tsb berbicara sendiri, diamini dalam bentuk anggukan oleh penumpang lainnya.

Junaidi, kali ini diam, namun tetap tersenyum. Dalam hatinya, ia juga sependapat dgn sales tsb. Tapi entah kenapa ia tetap memberi uang dengan niat lillahita’ala. Pikir-pikir, kenapa juga ia mau member uang kpd mereka, padahal jelas-jelas mereka gak layak diberi. Dan lagi, dua ribu rupiah bagi Junaidi cukup besar.

Tiba tiba, muncul kata ‘tulus’ dalam benaknya…

Lalu hatinya bergumam, “ya seperti itulah yang namanya tulus Jun …”

Seperti apa?? …ah, Junaidi nampak kebingungan dalam diam. Junaidi bukan jebolan pesantren. Juga bukan orang yang banyak pengetahuan agama.

Biarlah, pikirnya. Moga niatnya sedekah diterima oleh Alloh SWT. Seraya berdoa, moga uang yang dua ribu perak tersebut , bisa menjadi jalan hidayah bagi dua pengamen tsb. Amiin.

… dengan tenang dan nyaman, ia melanjutkan perjalanan. Sambil tidak henti-hentinya bersyukur dalam hati, Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun