Namun, ketika kejayaan maritim telah berakhir dan volume perdagangan menurun drastis, masyarakat akan beralih profesi, pergi ke desa pedalaman menjadi petani. Tradisi maritim ternyata mengakar betul dalam masyarakat kita.Â
Juga, profesi di sektor agraria dianggap kurang menjanjikan semenjak dahulu. Harapan mencari penghidupan yang lebih baik memaksa beberapa orang meninggalkan rutinitas sebagai buruh tani. Seperti yang terjadi sekarang.
Entah ini sekedar penyakit musiman. Atau pandangan tersebut sudah menetap dan terpatri dalam pikiran sebagian besar anak muda kita yang notabene adalah tulang punggung pertanian masa depan.
Sekarang, masalah yang kita hadapi lebih kompleks lagi. Niat mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan terbentur masalah faktor produksi yang terus menyusut. Terutama aspek sosial kemasyarakatan yang perlu diperhatikan betul.
Infrastruktur bisa kita bangun sebanyak mungkin. Ada yang lebih sulit daripada membangun sebuah prasarana penunjang pertanian, yaitu membangun mental masyarakat mandiri yang selalu siap mewujudkan swasembada.
Regenerasi petani yang kita rancang perlu melahirkan tak hanya seorang petani konvensional seperti yang kita kenal sekarang. Tenaga muda yang akan menjadi petani masa depan  harus menjadi generasi petani yang tidak kolot.
 Tak hanya harus dibekali pengetahuan tentang bidang pertanian yang mumpuni, namun perlu juga keahlian untuk mengoptimalisasi teknologi terbaru sekaligus memiliki soft skill berupa manajemen kompleks. Dikarenakan pada zaman sekarang tantangan bisnis semakin kompleks juga.
Mungkin banyak lulusan pertanian yang akhirnya berakhir bukan di bidang pertanian. Seperti yang pernah disindir Presiden Joko Widodo. Lulusan pertanian malah bekerja di dunia perbankan.
Masalahnya bukan hanya sekedar pandangan bahwa profesi petani kurang elit, ataupun kurang menjanjikan juga. Bisa jadi banyak sarjana pertanian yang kurang beruntung untuk memiliki sebuah lahan yang bisa digunakan sebagai ladang aplikasi wawasan yang dimiliki.
Di sini perlu perhatian dari pemerintah. Setidaknya faktor produksi seperti tanah produktif tidak semudah itu dilepas kepada para pelaku usaha seperti pengembang properti.Â
Sebaliknya, perlu sebuah model bisnis yang mampu membuat bisnis pertanian lebih menggeliat lagi. Juga menarik anak muda untuk berbisnis pertanian dan bertani. Â Tidak seperti tradisi kita, dimana bisnis pertanian biasanya dikelola terbatas dalam lingkup keluarga, secara turun temurun.