Mungkin karena budayanya. Diversitas demografi. Dan tradisi yang telah berlangsung. Membentuk sistem sosial yang berbeda meskipun kondisi riil dalam kehidupan masyarakat mengaplikasikan landasan yang tak jauh berbeda.Â
Masyarakat Pakistan dan Arab Saudi menafsirkan hukum agama yang membuat kaum hawa tidak bisa mengeluarkan potensi terbesar mereka untuk terjun dalam pembangunan negara. Sebaliknya, masyarakat Indonesia lebih memilih menerapkan Islam yang lebih ramah dan mengayomi, tak terlalu ke kiri atau ke kanan.Â
Tidak mengaplikasikan hukum yang misoginistik. Begitu menghargai martabat perempuan. Dimana RA. Kartini, tokoh pejuang keseteraan gender terkemuka, hari lahirnya selalu diperingati. Kaum hawa mendapat posisi dan peran yang lebih luas untuk memajukan negara karena kultur dan penafsiran yang Indonesia banget tadi.
Alec Ross pun mengungkap bahwa sepanjang kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara tetap regresif terhadap perempuan, investor akan menghindar dan lebih menoleh ke Afrika sub Sahara, Asia ataupun Amerika Latin yang dianggap menjanjikan.
Menerapkan batasan tegas terhadap perempuan tentu jelas merugikan menurut investor. Negara dianggap menyia-nyiakan energi yang cukup besar. Yang berguna untuk bersaing dan membangun peradaban yang maju.
Ross optimis bahwa Indonesia akan menjadi domain penting dalam industri masa depan. Industri di sini memang lagi bergeliat. Lonjakan demografi pada tahun 2030 harus bisa dimanfaatkan betul.
Setidaknya sekarang sudah terlihat. Bagaimana anak muda kreatif sudah memegang peran penting dalam perekonomian. Gojek, Traveloka, Bukalapak, Tokopedia, menjadi bukti. Keempatnya adalah start up unicorn yang dipimpin sosok muda luar biasa.
Banyak yang harus dibenahi memang. Terutama kualitas sumber daya manusia Indonesia. Yang menurut Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia (1978) mengkritisi bahwa manusia Indonesia modern pasca kemerdekaan sebagai sosok yang penuh kebimbangan, sinis, egois, disorientasi artistik, skeptis, munafik, tidak bertanggung jawab, percaya takhayul, feodalis, lalu lemah watak (Nawa Cita Untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia, halaman 49)
Tak sekedar membangun infrastruktur yang bagus dan akomodatif untuk industri masa depan, namun juga membangun manusia yang dapat bersaing dalam era industri penuh kodifikasi, bioteknologi, robotika dan internet.
Masihkah kita selalu menolak perubahan. Menuntut diterapkannya hukum Islam sebagai landasan ideologi negara, padahal Pancasila telah terbukti mengakomodasi keragaman masyarakat Indonesia yang rukun dan penuh toleransi. Seakan bertolak belakang, mindset kolot namun ingin selalu maju.
Semoga pada tahun 2019 ini, tahun politik ini, kita tak kehabisan energi untuk mengejar ketertinggalan selama ini. Semakin makmur, maju, rukun dan meningkat toleransi antar masyarakat kita. Semakin siap menyongsong industri masa depan.