Kemarin, BOPI secara resmi menghentikan Liga 1 sebagai buntut kematian salah satu suporter Persija dalam laga El Clasico Indonesia, Persija melawan Persib di Bandung. Tanpa ada batas waktu yang jelas sampai PSSI menuntaskan kasus ini dengan setuntas-tuntasnya.
APPI pun selaku wadah organisasi profesi pemain menghimbau untuk tidak bermain pada pekan ke 24 Liga 1 sebagai bentuk belasungkawa atas insiden itu.
Semua pihak sudah angkat bicara, Liga dihentikan sementara, menyusul kekerasan di kalangan pendukung menelan korban. Kejadian ini berulang-ulang. Tahun ini pun, entah berapa nyawa yang hilang karena fanatisme berlebihan. Tahun ini, menyentuh angka belasan bahkan.
Tak perlu kita saling menyalahkan. Saling menghakimi, saling tuding. Kita sekarang perlu solusi ke depan. Supaya peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi. Dan solusi ke belakang. Agar insiden serupa di masa lalu bisa diusut juga dengan adil.
Edy Rahmayadi dalam wawancara di Kompas TV, mengatakan bahwa tugas membina suporter adalah tugas klub. Bukan PSSI. Muncul pertanyaan dalam benak pikiran. Jangankan klub membina suporter, berdiri tegak pun mereka harus bersusah payah.
Profesionalisme klub selalu jadi pertanyaan. Tiap tahun. Hanya beberapa klub yang bisa sehat keuangannya. Yang lain, masih diusahakan. Entah tak sempat atau tak niat mereka membina suporter.
Saya pernah membaca sebuah artikel, membahas suatu liga, entah saya lupa. Liga Jepang atau Thailand. Disitu diterangkan, liga berisi sedikit klub. Bukan karena kuantitas klub yang berdiri minim. Tapi hanya klub yang benar-benar profesional yang bisa bermain di kasta teratas. Diferensiasi dan determinasi dilakukan secara ketat dan konsisten. Esensi liga profesional, ya harus profesional, di segala aspek. Fisik maupun non fisik.
Jepang belajar ke Indonesia untuk membentuk sebuah liga sepakbola profesional. Ya, ketika itu hanya Indonesia dan Hongkong yang punya liga profesional. Thailand pun, klub yang bermain di divisi teratas hanya sedikit. Tapi, kualitas pengelolaan liga dijamin baik. Efeknya pun nanti pada timnas masing-masing. Terbukti, jangan bicara Jepang, Thailand saya rasa sudah satu level di atas sepakbola Asia Tenggara.
Bukan reformasi, tapi revolusi liga yang sangat mendesak. Jangan bicara pembinaan suporter oleh klub jika mereka belum sepenuhnya profesional.
Andai PSSI pun yang membina, memang kejadian serupa belum tentu berakhir. Atmosfer sepakbola kita sangat kental dengan fanatisme dan totalitas terhadap klub. Padahal, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi energi positif untuk mengembangkan liga. Jadi liga tidak lagi menjadi ajang meminta dana dari pemerintah, namun berkembang menjadi industri mandiri dengan profit dan prospek cerah.
Ya, hanya segelintir oknum memang yang melakukan vandalisme. Sebenarnya mereka tidak tau apa-apa tentang sepakbola. Bahkan, mungkin, mereka hanya memburu eksisme semata. Kumpul-kumpul. Jingkrak-jingkrak bareng. Foto, sebarkan ke media sosial. Atau, bahkan berniat buruk melakukan provokasi dan memancing keributan.
Ya, teringat saya ucapan Dahlan Iskan. Dari suatu organisasi, institusi, maupun korporasi, yang benar-benar baik itu cuma 10%,yang brengsek itu cuma 10%,yang 80% itu ikut-ikutan aja.
Kita tunggu saja, apakah sepakbola kita bisa sembuh dari komplikasi penyakit yang berkepanjangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H