Morgan Stanley mengemukakan istilah Fragile Five, menunjukkan 5 negara berkembang yang akan merasakan dampak hebat dari pengetatan likuidasi oleh The Fed yang dimulai sejak 2013 lalu. Brasil, Indonesia,Afrika Selatan, India dan Turki.
Sejak beberapa bulan yang lalu memang gaduh perihal pelemahan Rupiah mulai mengemuka. Apalagi di tahun politik dimana akan banyak pihak yang show off memperebutkan dukungan dan perhatian untuk panggung politik.
Pelemahan Rupiah bisa menjadi senjata ampuh untuk mengkritik Pemerintah, sebab persoalan valas yang "sangat teknis" bagi orang awam, seperti saya, membuatnya bisa menjadi propaganda kritik menarik untuk diungkit.
Hampir semua berkata bahwa faktor eksternal yang membuat Rupiah semakin kewalahan di hadapan Dollar. Tapi, BI bahkan terkejut perihal pelemahan Rupiah yang sudah mulai "keluar" dari "sisi fundamental" nya.
Rizal Ramli selalu bilang bahwa ketika badan kita yang lemah, penyakit sepele pun akan membuat kita sakit, itu yang selalu dia katakan dalam mengkritik kondisi perekonomian kita saat ini.
Sebagai orang awam yang minim pengetahuan ekonomi, saya tidak terlalu paham dengan urusan ini dan menghindar untuk berargumen lebih jauh tanpa dasar yang kuat. Namun setelah saya telaah dengan sangat keras persoalan ini, perlahan saya sedikit tahu masalahnya.
US Dollar telah jadi mata uang resmi perdagangan Internasional, jadi semua negara butuh itu. Dan ketika The Fed melancarkan serangan balik, yang pada awalnya mereka membuat Dollar bermain menyebar untuk menyehatkan industri keuangannya, sekarang mereka ingin Dollar itu pulang kampung. Ketika semua negara butuh Dollar tapi jumlahnya terbatas, di saat itulah nilainya menjadi tinggi karena satusnya yang "dicari".
Ditambah lagi langkah ambisius Donald Trump yang menyebabkan defisit pada anggaran memaksa Pemerintah menerbitkan obligasi dengan imbal balik yang tinggi, semakin menyulitkan negara berkembang yang membutuhkan investasi demi pembangunan tapi arus modal justru seret.
Sejak 2013 Rupiah memang terjun bebas. Ketika saya masih SD Rupiah masih berkisar di angka 9000an namun sejak 2013 (waktu itu duduk di bangku SMP) mulai melemah terus dari 10 ribuan, 11 ribuan dan sampai kemarin hampir menyentuh angka 15 ribu.Â
Yang sangat terpukul memang industri yang mengandalkan barang impor, karena harga bahan baku yang semakin mencekik jangan sampai membuat usaha gulung tikar dan menambah angka pengangguran dan efek-efek buruk ke belakang yang semakin menambah runyam persoalan ekonomi.
Pemerintah memang sudah sekuat tenaga "melindungi" Rupiah agar tidak jatuh terlalu dalam. Di tengah situasi ini, bahwa kita butuh Dollar, harusnya kita memang menggenjot ekspor demi mendapat devisa yang cukup.
Namun, kenyataan berkata lain, bahwa nilai impor kita lebih besar dari ekspor kita membuat Pak JK melarang kita untuk membeli Ferrari dan Tas Hermes untuk sementara waktu.
Saya mendapat dua hal penting yang harus kita rembug sama-sama, pertama hilirisasi industri demi peningkatan produktivitas dan kedua kurangi gaya hidup hedonis yang cenderung menggunakan barang mahal dari luar negeri.
Memang tahun depan masih menjadi tahun yang sulit bagi Rupiah, tapi sebagai warga biasa saya hanya berharap jangan sampai "Sandang Pangan" kita terganggu karena Rupiah yang lesu.
Entah benar atau salah analisis saya, sekarang kita harus "Berpijak dengan dua kaki" melihat kondisi geopolitik global sekarang. Akan ada lagi serangan balik yang sekilas melemahkan kita, namun sejatinya Bangsa kita adalah Bangsa yang kuat dengan gotong royong.
***
Sumber :
www.cnbcindonesia.com
m.kontan.co.id
m.kontan.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H