Mengikuti sidang kematian Mirna, baru malam kemarin energi berpikir saya ikut tersedot. Perburuan kosa kata "lazim dan kelaziman" melenakan memori ilmu kebahasaan saya.Â
Sebuan pertanyaan pengacara Jessica untuk menguak istilah itu malah mengajak sidang itu bermain-main dengan makna.Â
Singkat cerita, makna kata lazim berusaha ditarik dari kandangnya. Dalam pemahaman saya, usaha mengulas makna lazim semacam itu, bisa menjadi potensi awal terjadinya perubahan makna.Â
Ukuran kelaziman umum, berusaha untuk digugat dengan mengukur pada kelaziman personal. Mungkin dalam ranah hukum, hal ini adalah wajar. Mengingat batasannya adalah pasal-pasal. Tetapi, dalam dinamika bahasa, ukurannya adalah pemakai bahasa. Personal harus "sami'na waato'na" dengan pemahaman pemakai secara umum.Â
Maka, tidak bisa kata "makan", yang lazimnya adalah memasukkan sesuatu ke dalam mulut harus digugat karena ada personal yang mengartikan makan adalah mengeluarkan sesuatu dari (maaf) dubur.
Kelaziman umum, menaruh paperbag dimana? Maka ukuran itu yang harus menjadi ukuran personal. Itu kalau mengacu pada ranah bahasa.
Maka, sangat lazim jika malam ini PDIP harus mengusung Ahok untuk pilkada 2017. Dan, sangat tidak lazim jika partai ini malah mendukung YIM, atau H. Lulung.Â
Lazim pula, jika drama tarik ulur pencalonan ini harus dibuat untuk bergulir panjang dan seolah berekspresi tegang. Karena kelazimannya, politik memang selalu begitu.
Apakah kelaziman itu akan menghasilkan sebuah kebaikan atau kebenaran? Jika mengacu pada dunia bahasa, maka ukurannya ditentukan oleh pemakai bahasa itu sendiri. Dan, sangat prihatin saya jika kelaziman itu harus diubah hanya oleh pihak media atau segelintir orang saja.
Jika malam ini, pemakai bahasa bersepakat kata "munafik" dimaknai sebagai "jiwa yang terhormat". Maka, pada malam ini pula makna kata munafik itu berubah seperti keinginan para pemakainya.
Maka, kelazimanlah yang terjadi. Tidak ada yang perlu disandiwarakan atau dihebohkan, jika itu sudah dalam kelaziman. Itu Kalau dari ranah bahasa. Dan, saya melihat, malam ini, sandiwara dari satu kubu sudah sesuai dengan kelazimannya.
Maka, akan heboh jika ada yang berusaha untuk melawan sebuah kelaziman. Salah satu contoh kehebohan itu adalah, ketika dengan mudahnya seseorang pergi begitu saja meninggalkan yang pernah mendukungnya. Jelas, itu tidak mengacu pada nilai-nilai kelaziman yang berbudaya.
Maka mengapa, Brutus menjadi cerita (legenda) tragedi, karena ia ingin mengambil sebuah kekuasaaan dengan tidak dalam kelaziman. Menghasut, menelikung, dan membunuh. Bahkan, sang istri yang dibunuhpun tega ia nikahi. Hal yang sangat tidak lazim.
Kertonegoro, 20 September 2016
Salam,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H