Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gloria Jadi Duta? Nah, Kece Nih Menpora

17 Agustus 2016   08:44 Diperbarui: 17 Agustus 2016   09:06 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai resmi gagal menjadi Paskibraka, Kemenpora berkehendak menjadikan adik kita Gloria Natapradja H. menjadi DUTA Kemenpora. Ini baru keceh pak Menteri.

Apalagi alasannya cukup mengena bagi ruh dunia pendidikan, yaitu sikap tegar dalam menghadapi permasahan itu. Artinya, semangatnya untuk terus melangkah maju sebagai pemuda tidak goyah. 

Ide-ide kebijakan semacam ini yang seharusnya terus ditampakkan pemerintah. Ada nuansa hati, ramah rasa, bertanggung jawab atas kesalahan (asal tidak yang prinsip), berpola perbaikan. 

Saya setuju dengan langkah ini karena basic permasalahan Gloria berangkat dari kesalahan di luar dirinya. Kadar masalahnya pun juga berisi hal yang baik, berniat baik, telah berproses dengan baik untuk menuju kebaikan. Mewadahi kondisi yang demikian dengan memberinya sebuah kehormatan, setidak memberi dua arti.

1) Jika bermula dari sesuatu yang baik, maka layak untuk diapreasiasi, dijaga, dan difasilitasi agar terus berujung kebaikan,

2) Masyarakat akan membaca jika negara bertaggung jawab atas langkah yang diperbuatnya. Baik langkah itu benar atau salah.

Karakter penyelesaian semacam ini akan memberi imbas yang signifikan bagi psikologi publik. Disamping karena telah menutup permasalahan ini dengan ketegasan sesuai aturan, ternyata juga endingnya cukup menggembirakan.

Harus diakui oleh negara, jika olok-olok yang saling bersahutan di ranah publik lebih banyak dipicu oleh kurang lihainya negara (pemerintah dalam hal ini) dalam manage konflik. Sehingga celah-celah untuk mempertanyakan konflik itu masih bisa diterobos untuk diperpanjang. 

Memberi jawaban dengan solusi yang cerdas semacam itu memang tidak akan menutup total celah permasalah yang ada, tetapi setidaknya pemerintah telah berbuat dan bertanggung-jawab. Bukan malah merespon dengan derajat yang sama dengan "lawannya".  

Untuk kasus Gloria ini, pemerintah telah menunjukkan jiwa kebapakannya. Dan memang harus begitu langkah yang seharusnya. Bukan menjawab sebuah kontra dengan kontra yang serupa. 

Semoga di usia 71 tahun Indonesia merdeka ini tumbuh kebijakan-kebijakan yang lebih manampakkan keramahan dan egaliternya seorang Bapak, pemimpin-pemimpin masyarakat dan bangsa. 

Layak dikemukakan kembali kalimat hikmah, jika "jangan pernah mengharap pujian, sekalipun kebijakan yang diambil adalah suatu kebaikan. Dan sangat mungkin kritik, saran (termasuk sebagian celaan) adalah sahabat yang baik untuk menuju kedewasaan". 

Kalimat hikmah yang lama ditidurkan negeri ini. Semoga bukan karena sengaja ditidurkan atau malah ingin disembunyikan.

Semangat mbak Gloria, jika toh nanti terlaksana dalam menyandang Duta Kemenpora, tularkan semangat dan ketegarannya. Agar bangsa ini, pemimpin-pemimpinnya, rakyatnya, yang suka, yang tidak suka, yang pro dan kontra, yang berlawanan idea dan arah, tidak mudah cengeng dalam menyikapi suatu paradigma dan masalah. 

Cengeng, karakter yang semakin bertumbuhan mengiringi kedewasaan usia bangsa. Jalur pembiasaan yang seharusnya segera untuk dicegah!

Cengeng itu, buah dari niat yang kurang suci. Lahirlah konsep lawan dan kawan, lahirlah penikaman-penikaman. operasi senyap, geliat tak beretikat, menang kalah, pembenaran-pembenaran, ekslusifisme, memuja rona superior. Titik akhirnya adalah "anti perbedaan". Semua itu, tegas saya katakan, bisa mewabah pada semuanya, siapa saja. Tidak karena unsich terkooptasi oleh warna daerah, budaya, apalagi agama. 

Negeri ini akan gagal menjadi merdeka seutuhnya, jika tidak bisa menatap perbedaan itu sebagai rahmad! Dan itu, harus bermula dari cara sikap para pemimpin yang ada.

Kertonegoro, 17 Agustus 2016
Salam,

Akhmad Fauzi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun