Jadi, permasalahannya kan hanya satu, Apapaun kepentingan yang ada yang kemudian menjadi semangat untuk menolak dan membenarkan sebuah paradigma, sudah hal itu sesuai dengan tata aturan hukum bernegara?
Khusus untuk permasalah kewarganegaraan, jika kini Presiden telah mengambil sikap dengan memberhentikan dengan hormat Menteri ESDM tersebut, maka harus dibaca sebagai bagian yang tidak terpisahkan atas dialog-dialog dari wacana tersebut.Â
Membaca dan menjabarkan ekses atas pemberhentian itu wajar. Menariknya menjadi kesalahan yang berujung pada pidana atau etika, itu juga wajar. Yang tidak wajar adalah mewacanakan kembali kebijakan Presiden tersebut dengan dasar-dasar yang tidak jelas, baik dengan berniat untuk membenarkan keputusan pemberhentian itu atau kembali menyalahkannya.Â
Sangat tidak wajar jika negara sebesar Indonesia hanya gaduh oleh wacana dan opini yang tidak memiliki kekuatan dasar atas aturan hidup berbangsa dan bernegara.Â
Menolak asal menolak atau membenarkan asal membenarkan, apalagi jika keduanya dibumbui dengan pengelabuan-pengelabuan wacana (bahkan data) dan di dukung kekuatan media, memungkinkan sekali fenomena itu menjadi bibit-bibit pembusukan akan proses pendewasaan hidup warganya.
Haruskah kita mendiamkan hal ini untuk menjadi budaya?
Jangan menjadikan korban-korban lain, dengan tema dan momen apapun. Mewacanakannya lebih dalam tanpa dasar yang sesuai aturan, tidak saja melukai keduanya, tetapi juga menghinakan bangsa ini.
Kelompok yang pro dan kontra, teruslah berwacana selama dasar pro dan kontranya mengerucut pada tata aturan kenegaraan. Mari perbanyak kelompok tengah, yang masih idealis membaca aturan negara (dan agama) sebagai sebuah kebenaran yang haq. Keduanya jika bisa bersinergi dengan baik akan bisa melibas mereka-mereka yang asal pro dan kontra dengan segala pengelabuannya.
Salam Indonesia jernih!
Kertonegoro, 16 Agustus 2016
Salam,