Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Full Day School, Mahalnya Membeli Sebuah Proses

9 Agustus 2016   17:14 Diperbarui: 10 Agustus 2016   07:47 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Retno Listyarti, ketua FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), mempertanyakan konsep FDS (Full Day School) yang wacananya sedang digulirkan oleh Mendikbud beberapa waktu lalu. M

asalahnya, dari temuan dia selama dua tahun terakhir belum menemukan korelasi yang signifikan antara prestasi siswa dengan penambahan jam sekolah.

Ditambahkan juga oleh dia, jika permasalahannya pada menjaga aktivitas siswa agar tetap sehat dan terpantau, nyatanya tingkat tawuran pelajar dan kekerasan siswa di dua tahun itu cenderung menunjukkan peningkatan justru saat siswa berada di sekolah. 

Simpulan dari dia, untuk menjawab tantanga dunia pendidikan bukan pada menambah jam aktivitas siswa di sekolah. karena masalah utama di sekolah itu adalah pola pembelajaran yang diterapkan guru kepada siswa. Solusi terbaik dalam memperbaiki pola pembelajaran itu adalah memberikan pelatihan yang intens kepada guru itu sendiri (CNN Indonesia televisi, Senin, 8/82016).

Di wacana netizen malah semakin beraneka, kubu yang pro dan kontra atas FDS ini berkeliaran dengan berbagai pertimbangan masing-masing. Mulai dari menambah ransum makanan sampai pada ringannya beban ortu pada pengawasan.

Saya pribadi, melihat konsep ini sebagai bagian yang tak terpisahkan antara kegagalan regulator dalam menerapkan kebijakan dengan multi kompleksnya permasalahan pendidikan. 

Miris jika peluncuran wacana FDS ini adalah bagian dari "budaya ganti menteri ganti kebijakan", meskipun asumsi ini harus ditolak mentah-mentah karena pak Muhajjir di awal memasuki Kementerian ini tegas mengatakan jika beliau hanya akan melanjutkan kebijakan Menteri sebelumnya. 

Pun, pak Menteri baru ini mengeluarkan "joke" jika sebenarnya Mendikbudnya itu adalah pak Anies. Kalimat yang menggambarkan betapa beliau sefaham dengan regulasi Menteri sebelumnya sekaligus memberikan jaminan kepada publik jika tidak akan ada perubahan yang cukup ketika beliau menjabat nantinya.

Tentang kompleksitas permasalahan pendidikan, saya juga meyakini benar jika pak Muhajjir bukanlah pemain baru di belantara carut-marutnya pendidikan negeri. Ruh perubahan pola UN, memandang kemampuan guru, melihat fakta sarana dan prasarana sekolah secara nasional, serta hal yang remeh temeh semacam gaya birokrasi yang melilit dunia pendidikan pasti beliau sangat faham. 

Maka saya tidak yakin jika konsep FDS ini bukan berangkat dari ketidakfahaman beliau dalam membaca pendidikan nasional, tetapi lebih pada meminta umpan balik kepada publik atas salah satu alternatif pemecahan problematika pembelajaran di sekolah.

Keyakinan saya semakin menguat melihat pernyataan salah satu pejabat di Kemendikbud (juga di dalam acara itu), jika FDS ini langkahnya masih panjang, butuh masukan dan kritikan dari berbagai pihak untuk memperhalus resistensi gerak yang akan ditimbulkan jika konsep ini di terapkan. Jika peryataan tersebut benar, maka pemakaian situasi darurat untuk wacana pemberlakuan FDS ini menjadi tidak bernilai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun