Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bule Itu Harus Mati - #HPN

5 Mei 2016   10:56 Diperbarui: 5 Mei 2016   11:26 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marah (www.gelombangotak.com)

 Optimis 4
 KLU Hari Ini
 ‪#‎HPN‬ 

Rilis resmi dari kepolisian, si Amokrane Sabet bukan meninggal karena peluru tajam, tetapi sayatan di leher. Yah, 12 peluru karet yang dimuntahkan polisi tidak mampu menembus kekokohan raga yang dipunya. (berita di NET TV, Rabu, pukul 23.30 wib)

Apapun hasil rilis itu tetaplah harus bersedih, karena NYAWA telah melayang. Lebih-lebih satu polisi (nyawa juga) harus gugur dalam insiden itu.

Ini telaah saya :

1. Salut pada polisi yang bergerak cepat mengotopsi dan merilis hasil otopsinya. Memang, bisa berbias kecurigaan, salah satu contoh bias itu (mungkin saja) mengatakan, mengapa jika terjadi pada si Bule segera dilakukan otopsi, sementara Siyono tidak demikian. Minor-minor suara yang ada nantinya adalah kewajaran. 

Yang harus bisa di jawab oleh polisi adalah, bahwa niatan kesigapan mengotopsi dan merilis hasil otopsi jenazah itu bukan karena BULE, atau ada teman polisi yang ikut jadi korban. Tetapi murni karena untuk kejelasan penegakan proses hukum selanjutnya. Lebih afdhol lagi jika dibumbui berangkat karena ini menyangkut NYAWA.

2. Almarhum sudah tiga tahun mukim di Indonesia, begitu berita yang saya dengar. Sejak itu pula perilaku brutalnya mewarnai kehidupan sehari hari. Itu berita yang saya temukan di semua media. Yang belum saya temukan beritanya, ihitar yang berwenang untuk meluruskan kebrutalan itu. Maksudnya, jika toh sudah ada ihtiar untuk penyadaran, mengapa perilaku itu tetap dilakukan? 

Menjadi hikmah semua, jika sesuatu yang salah JIKA DIBIARKAN akan mendatangkan BENCANA yang lebih parah lagi.

3. Empat murid saya, kemarin, usai saya posting tentang berita ini, bertanya ke saya, "Pak, katanya si bule ini suka pinjam istri orang, suka teriak tak senonoh, suka memaksa orang ikut mabok bersamanya. Jika tidak mau, babak belur yang menghalangi kemauannya".

Balik saya bertanya, "Dari mana kamu dengar itu semua...?".

Saya malah ditertawakan, dianggap jadul, ngga update info dan seterusnya. Dengan tertawa, dan gurau sewajarnya.

Saya dan siswa saya di Kertonegoro, dusun kecil jauh dari pusat kabupapten, apalagi pusat kekuasaan. Tetapi, kejadian di belahan sana, ratusan kilometer jaraknya, tidak lagi ada alsan untuk tidak bisa diketahui. 

Pembaca tidak usah curiga ke saya, karena saya punya kewajiban penuh untuk (harus) meluruskan apapun berita dan pikir anak didik saya agar kembali pada norma. Bukan karena saya pro ini atau pro itu. Benci si bule atau justru suka si bule. Tetapi, mengajak ke hal yang normatif, ramah hukum, taat aturan, yakin akan kebenaran Tuhan, Allah swt. adalah peluang JIHAD saya yang masih diberikan Tuhan.

Ingin tahu klarifikasi saya? Yah, saya katakan ke siswa, "Hati-hati dengan informasi. Cari sumber yang relevan, sumber relevan itu adalah rilis resmi dari lembaga yang sah. Tetapi, jangan hanya berhenti di sana, jika ingin lebih yakin, buka aturan-aturan yang membicarakan tentang hal itu".

Artinyanya, apapun kabar yang bersliweran di media (apapun) tentang si bule ini, jangan ada keterlarutan akan kabar itu. Tetapi segera tarik garis tegas, NORMATIFKAH, atau NGAWUR! 

Artinya, efek dari menarik ke normatif dan ngawur itu harus diselaraskan dengan sikap kita selanjutnya. Puncaknya adalah AMBIL HIKMAH TERBAIK untuk diri sendiri.

Kembali, Nyalakan Lentera, Terangi Cita-Cita, harus berbicara banyak tentang KEPATUHAN jiwa-jiwa akan norma, hukum dan syariah agama. meminimkan jargon-jargon yang TIDAK BERMUTU, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan pengokohan EKSISTENSI TUHAN.

Mengapa? Karena Amokrane ini hanyalah secuil dari kebrutulan-kebrutalan yang ada. Potensi brutal dan pembrutalan akan semakin lepas kendali jika nilai-ilai kemanusiaan dan Tuhan dikebiri semasiv mungkin. apalagi jika pengebirian itu BER-atas nama warna, baju, sosok, keyakinan, dan (lebih tragis lagi) tentang kepentingan bisnis.

Nyalakan Lentera, Terangi Cita-Cita, semoga bisa berlari cepat membawa anak-anak negeri dengan keciaraan yang berwibawa dan bercitra.  Karena itu yang akan bisa menyelamatkan negeri ini dari buram masa depan.

Artinya, tentang kemanusiaan jangan pilih-pilih SIAPA. Tentang Tuhan, jangan ada pembiaran jika ada firman Tuhan yang di TANTANG dan dilecehkan. Dengan sendirinya, negeri ini akan menyulAm kesuburan hati dan optimisme hidup MENGALIRKAN energi kuat untuk KERJA KERJA KERJA. 

Salam Indonesia jernih, teduh, dan religus
Semoga bermanfaat 

Kertonegoro, 5 Mei 2016
Salam,

Akhmad Fauzi

Ilustrasi gambar : www.gelombangotak.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun