Dalam tulisan saya yang lain "Falsafah Tanpa Makna" (yang termuat di koran lokal dan dibukukan menjadi satu kumpulan artikel kompasianer tentang Pancasila) menyoroti fenomena degradasi makna Pancasila ini. Hempasan budaya asing sampai pada perilaku menyimpang dari falsafah bangsa begitu kejam menerpa bangsa ini. Sehingga dikhawatirkan Pancasila tidak lagi ada maknanya. Hanya sebuah simbol kenegaraan belaka.Â
Setelah melihat respon masyarakat dang sigapnya kepolisian merespon peristiwa ini, sedikit banyak tumbuh keyakinan jika bangsa ini tidak terlalu lelap ternyata.
Yak, urgensi kebutuhan sebuah dasar negara bagi sebuah bangsa yang beragam tidak bisa terbantahkan lagi. Keniscayaan bangsa Indonesia yang menghampar ribuan etnik, ragam keyakinan dan budaya, serta aneka irisan normal, mau tidak mau membutuhkan rumah besar untuk menaungi serpihan-serpihan itu. Pancasila lah rumah besar itu.Â
Membaca guyonan Zaskia tersebut dengan segala aneka respon setelahnya bisa menjadi ukuran bangsa inii terhadap kadar keseriusan negara dalam memiliki dan mencintai dasar negaranya. Â Kadar keseriusan cinta dan mmerasa memilik Falsafah ini senantiasa harus terus dijaga. Sebab ",goyangan" terhadap Pancasila yang dilakukan Zaskia ini tidaklah seberapa dibanding goyangan-goyangan lain yang secara riil ada di tataran kehidupan bangsa. Goyangan itu ada yang tampak ada yang terus bergerak di bawah tanah.
Pertanyaannya, seberapa peka masyarakat dan aparat merasakan goyangan-goyangan yang lebih dahsyat lagi untuk melecehkan Pancasila itu?Â
Yang jelas, jika kita, masyarakat, aparat, dan negara terbuai atas goyangan-goyangan yang ada itu, dapat dipastikan akan terjadi guncangan yang dahsyat. Lebih dahsyat dari acara Dahsyat RCTI itu sendiri yang sempat sedikit tergoyang oleh si ratu goyang itik.Â
Â
Salam Indonesia jernih, teduh, religius, dalam falsafah Pancasila.Â
Semoga bermanfaat.Â
Â
Kertonegoro, 17 Maret 2016Â