[caption caption="menteri Yudi K"][/caption]
(Guru Honorer Yang Ancam Menteri)Menyimak kasus yang menimpa Mashudi, guru honorer pada sebuah SMK di Jawa Tengah, mengingatkan kita pada tragedi buah simalakama. Dimakan ngga dimakan salah satu antara emak bapak, mati. Rasa simalakama tidak saja dirasakan oleh pak Menteri, Yudi K. korban pengancaman. Tetapi dirasakan pula oleh Mashudi, guru yang disangka mengancam.
Bagi pak Menteri, membiarkan ancaman itu berarti sama dengan membiarkan diri dan keluarga beliau dalam kegelisahan. Menuntut balik si pengancam bukan pula hal yang sederhana. Posisi beliau, kondisi yang dituntut, sampai pada aurora psikologi suasana tuntutan publik atas tema "diangkat menjadi PNS" pertumbukkan dalam satu ambivalensi untuk membuat keputusan menuntut si tersangka.
Begitu pun dengan pak Mashudi. Perjuangan pahit bertahun-tahun yang hanya bergaji 350 ribu rupiah, menjadi kadar yang menguatkan untuk harus beraksi. Meski aksi itu bisa jadi (tanpa disadari) masuk dalam wilayah pidana. Posisi ini yang menghimpit beliau, sehingga memutuskan untuk mengancam pak Menteri.
Buah simalakama itu telah dimakan keduanya. Langit pendidikan diselimuti kabut peristiwa tersebut. Syukurlah, semua berakhir dengan happy ending walau pihak kepolisian harus turun juga. Setidaknya, simalakama yang telah dimakan oleh keduanya berbuah win-win solution. Artinya, begitu Pak Mashudi memakan simalakama dengan beraksi mengancaman, pak Menteri pun menelan simalakama dengan melaporkan. Akhir itu semua berada dalam penyelesaian kekeluargaan
Saya sangat yakin, koridor atas ketinggian wibawa dunia pendidikanlah yang menjadikan kasus pidana ini berakhir dengan jalan kekeluargaan. Maka tidak perlu lagi publik ikut-ikutan menuntut seakan hukum bisa dinegosiasikan. Sepengetahuan saya, tindakan hukum itu harus mengacu pada dua hal, yaitu kepatutan dan keadilan. Dua-duanya sudah bisa menerima realitas dua acuan hukum itu. Dengan bukti, yang melapor (pak Yudi K) berkenan mencabut laporannya. Sedangkan terlapor (pak Mashudi) bersedia sungguh-sungguh untuk meminta maaf dan tidak akan mengulangi tindakannya. Berarti proses kasus sudah sangat layak untuk diakhiri dengan baik.
Apakah cukup demikian?
Sebagai masyarakat yang berpendidikan selayaknya kita harus berani mengambil hikmah atas peristiwa ini. Setidaknya saya melihat ada dua hikmah yang bisa diambil.
1. Kebijakan yang konsisten
 Meskipun tidak ada bukti yang kuat jika peristiwa ancaman ini berkaitan dengan dianulirnya perekrutan K2 menjadi PNS, tetapi saya bisa merasakan jika peristiwa ancaman pak Mashudi secara logika bisa dikaitkan dengan kebijakan itu.
Saya tidak ingin membahas tentang kebijakan peniadaan pengangkatan PNS untuk K2, tetapi saya ingin mengajak berhikmah jika sebuah kebijakan itu teramat penting artinya bagi proses bernegara. Sekecil apapun arti kebijakan tetap hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal inilah yang menjadi titik mula resistensi itu ada.
Oleh karena itu sangat dibutuhkan kecermatan, kejelian hitungan serta konsistensi pembuat kebijakan dalam setiap merilis kebijakannya. Konsistensi itu melahirkan wibawa bagi pemerintah serta kepercayaan yang tinggi dari rakyat.
2. Ada ketersumbatan menyalurkan aspirasi
 Saya harus bertanya, kemana PGRI? Dimana IGI? Apa kabar FGI? Bukan berarti saya tidak melihat sama sekali kiprah ketiga wadah organisasi guru ini. Tetapi sangat disayangkankan dengan tingkat kepekaan organisasi tersebut dalam membaca kepentingan anggotanya.
Ketika ada seorang guru yang dipecat kepala sekolah gegara ber-sms mempertanyakan gajinya selama tiga tahun, advokasi untuk si guru juga tidak terlalu kelihatan.
Andai saja, ketiga organisasi itu berada di garda terdepan untuk menyuarakan nasib K2, akan terasa di akar rumput jika kepentingannya sudah ada yang mewakili. Saya sangat yakin gerakan diskusi-diskusi instensif antara pemerintah dan pihak yang mewakili, apapun nanti hasilnya, selama diskusi itu terlihat fair oleh mereka, maka bisul-bisul ketidak-puasan itu akan lenyap dengan sendirinya.
Jalur ini yang tidak terlihat oleh akar rumput, guru-guru honorer K2, Sehingga ada rasa keputusasaan, merasa disepelekan, merasa jenuh dan seterusnya. Memperlancar saluran ini akan memberi ketenangan bagi mereka.
***
Nasi sudah menjadi bubur, apapun sebab musababnya lebih baik kita reguk hikmah yang ada. Toh nyatanya, keduanya harus memakan simalakama yang pahit jua rasanya.
Patut diapresiasi dengan baik, keduanya, pun juga pihak-pihak yang ikut melibatkan dalam mediasi telah melahirkan akhir yang baik. Jadikan akhir yang baik ini menjadi rasa optimis jika permasalahan pendidikan pasti dapat terpecahkan.
Salam pendidikan
 Semoga bermanfaat
Kertonegoro, 11 Maret 2016
 Salam,
Akhmad Fauzi
Â
Ilustrasi : nasional.republika.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H