Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[100 Puisi] Wajah Dilupa

19 Februari 2016   13:47 Diperbarui: 19 Februari 2016   14:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Arsip Pribadi"][/caption]Umurku duapuluh lima
Aku manusia
Tetapi sudah lupa apa itu kaya

Aku bekerja
Belajar dari warisan ayah mengais sampah
Tetapi aku juga lupa, apakah ini salah

Pagi aku berangkat
Meletakkan mimpi dan rasa penat
Tetapi aku berharap jangan tergesa-gesa kiamat

Malam, selepas isya aku pulang
Masih tersisa sedikit nasi di rantang
Aku lupa, apakah laparku sudah hilang

Aku tidak punya pacar
Lama aku bersandar untuk sadar
Mungkin ini yang dimaksud orang agar selalu membangun jiwa sabar

Aku tidak mengeluh
Karena nyaris lupa berapa ribu jam aku berkeluh

Aku tidak marah
Karena tanpa marah pun aku sudah terlalu hina

Aku ingin menjadi bayi
Yang ditimang disayang dan disuapi
Tertawa lucu karena tidak mau tahu siapa ayah ibu

Aku wajah pelupa
Selalu dilupa

Aku wajah manusia
Yang lupa siapa yang sedang berkuasa
Karena bagiku lebih menarik seonggok sampah

 

Kertonegoro, 19 Pebruari 2016
Salam,

Akhmad Fauzi

 

Catatan :
Terinspirasi dari sahabat bersyukurku yang selalu aku tunggu usai maghriban. Aku ingin istiqomah menemani ia pulang, walau satu dua batang rokok yang bisa aku berikan. Berdialog dengannya, seperti menampar diri, karena terlalu banyak obsesi diri ini. Nyatanya, sedikit saja saya ajak bercanda, lepas tawanya. Aku tidak menemukan susah walau mungkin ada.

Ilustrasi : arsip pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun