Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Cinta Tak Mengenal Udzur

2 Oktober 2015   11:14 Diperbarui: 2 Oktober 2015   19:53 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhmad Fauzi

No. 54 

Kopi yang setengah jam lalu terseduh, masih tergeletak rapi di atas meja. Memar tadi malam masih berisik dalam jiwa. Kepulan aroma kekentalan kopi tumbukan sendiri memicu hasrat berteriak kembali dalam kekalutan. Tumbukan tangan halus yang tadi malam menumpahkan kekecewaan.

"Mbok ya ikut mikir toh Pa. Tunda dulu acara dengan siswa...". Pembuka istri mengawali diskusi rutin melepas malam.

"Lha kurang apa toh, Ma. Toh Henik sudah besar, janda lagi", jawabku ringan meyakinkan jika hal yang bisa dilakukan hanyalah saran, bukan ikut memutuskan.

"Tapi besok penentuannya, kasihan Ibu, Pa?!". Desak istri memanja, tangan menjamah beberapa helai rambut, dan mencabutnya.

"Papa sudah mulai tua ya Ma?", kelakarku sambil menggeser posisi duduk, setengah merebah di dada perempuan yang sudah tujuhbekas tahun membagi rasa.

"Pa! Aku lagi bicara Henik...", gerah istri menyodorkan dua helai ranbut yang telah memutih.

"Iya, juga mendengarkan, Ma".

"Kok beralih ke uban?!". Terasa ada nuansa kesal, meski aku juga merasakan ada ihtiar mendekap.

"Terlalu tua kita Ma. Biarkan Ia ngurus dirinya sendiri...".
"Terus, Ibu?". 
"Ada apa dengan Ibu?". 
"Ya Allah..., Papa. Aku istrimu, Pa!", hardik istri meninggi. Diikuti lembaran selinut ke wajah ku. Menghilang ia, neninggalkan saya sendiri.

Yah, tidak habis pikir, apa yang salah?

Pertenyaan yang pagi ini menemani duduk saya. Terlintas bayang adik ipar yang nanti sore akan menikah lagi. Aku cari titik kesalahan atas rencana pernikahan itu. Sama sekali wajar, tidak ada yang harus dimarahkan.

Bukankah hal yang wajar jika kejandaannya bisa diakhiri? Kalau toh dimadu, itukan urusan mereka berdua. Aku sudah fahamkan ke ibu mertua jika hal itu adalah petistiwa alami. Selama keduanya ihlas nenjalani poligami ini, apa yang harus diresahkan? Apalagi aku juga mendengar jika istri pertamanya sudah merestui.

Terus, mengapa justru istriku yang menumpahkan marah?

"Aku mau pulang ke ibu...!".

Suara yang benar-benar mengejutkan lamunanku. Bukan saja karena datangnya suara yang tiba-tiba. Tetapi isi yang disuarakan nengandung interes yang petlu dijernihkan.

Aku tatap istriku yang mematung didepan cermin. Hanya berbalutkan handuk tipis menutup kurang dari sepertiga tubuhnya. Aku sruput kopi yang sudah mendingin, masih ada sisa-sisa kenikmatan seduhan kopi istri, seperti pagi-pagi sebelumnya.

"Aku tidak mengijinkan, Ma...", ucapku terasa berat.

Wanita itu membiarkan ruang tengah rumah penuh cinta ini semakin membuka kegalauan, dengan senyap penuh tanya. Kembali aku tenggak kopi yang ada, kini terasa pahitnya.

Beranjak aku dari tempat duduk. Menghampiri tubuh putih yang telah ditinggal eksotiknya nuansa perawan. Tubuh yang telah malang melintang menerjang polah hidup. Bahenolnya menjadi daya tarik tersendiri bagi keranuman sebuah rumah tangga.

"Mama mengharap seperti apa, untuk papa?", tanyaku sembari meraba rambut yang terurai setengah basah.

"Nikmati saja hidup Papa...", jawabnya tegas.

Aku dekatkan bibir ini ke pucuk telinga sang istri. "Mamalah hidup Papa...", bisikku mesra. Berharap belahan hati ini membedah resah. Faham jiwa telah sejiwa.

Tidak, perempuan yang telah dalam dekapan ini malah gelisah luar biasa. Mata meleleh buliran air mata. Menambah kebingungan diri dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

"Aku sudah semakin menua, Pa...", keluhnya meraba beberapa lipatan di sekitar bawah mata.

"Itukah yang memaksa mama ingin pergi?", ucapku, memelas.

Dekapan aku lakukan, mengajaknya berlembut rasa. Perempuan itu mematung. Tergigit jemari, ditimpali derasnya air mata.

"En, cinta tak kenal udzur...", jeritku lirih menguatkan dekapan.

Yah, tujuh belas tahun lalu, nama itu aku sebut di pinggir sungai desa. Entah, apakah istriku berani memanggil memori awal-awal cinta bersama.

Hanya usapan lembut yang aku rasakan tepat di sekitar bibirku. Membiarkan jemarinya menyibak air mata yang juga mulai turun dari mata ini.

Cinta tak pernah udzur, akan terus menyibak sejarah lelaku jiwa yang telah menelannya.

---tamat---

 

Kertonegoro, 2 September 2015
Salam,

Akhmad Fauzi

Ilustrasi : photo pribadi

 

NB :

 

UNTUK MEMBACA KARYA PESERTA LAIN, SILAKAN MENUJU AKUN FIKSIANA COMMUNITY.

SILAKAN BERGABUNG DI GROUP FB FIKSIANA COMMUNITY.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM DALAM EVENT “KATAKAN CINTA” YANG DIADAKAN OLEH GROUP FB FIKSIANA COMMUNITY.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun