Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gairah Menulis Jangan Karena Penguasa, Tapi Lakukan Karena Jiwa

23 Mei 2015   21:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heeemm..., hanya judulnya saja kok yang diseram-seramkan. Untuk isi, dijamin hanya biasa-biasa saja. Tidak seperti kopi “air seni”nya pak Thamrin Sonata yang meliuk keman-mana, sampai tidak tahu lagi mana kopi, mana air, mana seni! (termasuk mana “air seni” kopinya seniman)

Tidak juga yang harus melangit, sehingga nanti dianggap syurga milik sendiri. Akibatnya, langgam jawa pun menjadi perdebatan seru dan membahana. Sehingga lupa lah, mana yang syariat, mana yang budaya, mana yang hanya teriak-teriak menjadi penggembira atau pengompor saja.

Yang pasti, memang perlu dihindari kalau harus menulis yang ujug-ujugnya agar bisa menginjakkan kaki di istana, istana apa saja. Bukan karena alergi dengan penghuni istananya, tetapi takut saja, jangan-jangan nanti lupa kalau istana itu berbatas penghuninya, tidak boleh semua orang menghuni di sana. Efek yang biasanya mewabah adalah tidak tahu lagi mana yang suara hati, mana suara yang mengandung rezeki.

Tetapi, menulis untuk penguasa itu sah-sah saja. Jangankan di Kompasiana, yang konon katanya sudah mendunia ini. Di belahan dunia mana saja itu selalu ada dan sudah terbiasa sah kok, sejak lama. Silahkan saja menulis kemilau penguasa dengan segala efent kiprah langkahnya.

Hitler saja (Hitler lho ya), selalu rapi tata gerak, gestur, dan bahana pribadinya ketika direportasekan ke publik. Mata publik digelapkan ketika ingin membaca keanehan-keanehan. Sampai sang dokter pribadinya, seorang ahli pengobatan (modern untuk ukuran kala itu), harus berjibaku dengan isyu akan riwayat kesehatan sang penguasa setiap harinya. Hasilnya, sang dokter diberi kamar pribadi khusus di sebelah kamar sang istri dan dirinya.

Yah, penguasa jangan disempitkan dengan hanya satu titik, hanya satu fokus, hanya itu-itu saja. Nanti tidak ada improvisasi dalam jiwa kala meneguk secangkir kopi inspirasi. Bisa-bisa, kopi yang kental itu akan terasa encer (istilah pak TS adalah “air seni” kopi). Jadilah sewarna semua tata kata dan kelola tema yang ditulisnya.

Padahal penguasa itu, menurut persepsi, banyak rupa makna. Yang bisa dimintai uang, itu penguasa, kata Iwan Fals. Yang meminta jatah dan ternyata bisa mendapatkannya, itupun penguasa. Yang salah mengeroyok yang benar, terus yang benar kalah, itupun penguasa lho ya (juga sebaliknya). Yang ketakutan mendengar istilah penguasa itupun bisa dikatakan penguasa telah mengekang yang ketakutan.

Kita mungkin lupa, dari penguakan sejarah biografi Hitler, nyata sudah, ternyata Hitler itu bukanlah penguasa! Siapa penguasanya? Silahkan persepsi penguasa diri masing-masing yang berbicara.

Maka sangat baik jika kita sudahi menulis untuk penguasa. Tidak ada manfaatnya dalam membangun sejarah, karena penuh dengan gundah, kerikil, dan (sesekali atau seterusnya) berdusta.

Maka sangat bijak jika kita menulis dengan jiwa. Karena jiwa ramah dengan keluasan norma. Norma itu aspiratif sekali dengan kepentingan sejarah. Sedang sejarah dibutuhkan untuk perjalanan peradaban yang bermartabat. Dan, hanya sejarah yang bermakna yang tak lekang oleh peradaban dunia.

Menulislah dengan jiwa yang lepas dari kekuasaan penguasa, karena jiwa (justru) telah menguasai penguasa untuk mendebat kekuasaannya. Maka, alirkan tulisan jiwa itu dalam kekuasaannya untuk bercanda dengan kekuasaan penguasa.

Siapa penguasa? Aih, kalau ditelusuri, ternyata banyak artinya.

Ketika Iwan Fals diundang ke istana, siapa yang menjadi penguasa sebenarnya? Salah, jika jawabnya adalah penghuni istana. Salah pula, jika si Iwan yang berkuasa. Kita dengan emosi kitalah yang jadi penguasa! Sehingga kita lupa memanggil jiwa. Siapa tahu Iwan Fals hanya mampir ngopi saja, atau berdiskusi kecil tentang seni dan “air kopi” yang mengalir dalam darah negeri.

Gegara kita menulis untuk penguasa, maka kita lupa jiwa. Akhirnya, kita lupa mempertanyakan kepada Iwan Fals, “Apakah mas Iwan Fals meminta uang, ke istana?”.

Betapa gawatnya jika menulis hanya untuk penguasa. Inti dipastikan akan dititipkan sementara di hati, ditemani jiwa yang sepi sambil ngopi. Semoga saja kopi yang diseduh jiwa tetap kental oleh kekuatan inspirasi yang jernih, bukan semakin encer, (maaf) seperti air...

Terima kasih, salam Indonesia!

Terasa enak membacanya jika ditemani lagu ini :

.....

Penguasa, penguasa

Beri hambamu uang,

Beri hampa uang

Beri hampa uang

.....

(Lagu dari Iwan Fals)

Kertonegoro, 23 Mei 2015

Salam,

Ilustrasi : helmi-margaluyu.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun