[caption id="attachment_416434" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi : Gambar Dajjal di kafe Markobar, Solo, milik Gibran Rakabuming Raka. Dari : nasional.republika.co.id"][/caption]
Seakan mengikuti jejak sang ayah, anak muda yang tampak energik ini selalu cukup diminati media untuk diulas setiap langkahnya. Anak yang masih belia, seumuran mantan murid-murid saya. Menjadi hal yang familier bagi saya menatap anak seusia dia, Gibran Rakabuming, putra seorang presiden negeri ini. Familier, karena hampir 24 jam hidup saya berkelindan dengan figur-figur seusianya, lengkap dengan segala visi, konsep, dan idea dalam menatap hidup. Ingin move on, itu inti gerilyanya hati dan pikir anak-anak seusia dia. Selalu ingin melakukan kreasi, tanpa mau tahu akan sejarah. Baik sejarah pergulatan idea dunia, maupun sejarah pergulatan hati dan keyakinan masing-masing diri. Perkara prediksi saya ini salah, itu adalah hal biasa.
Sama sebiasanya dengan kontroversi Markobar, sebuah kafe hasil kreasi seorang anak muda. Kafe ini menjadi rame di media sama sekali bukan karena ada kekhasan yang brilian di dalamnya (misalnya : menu yang unik, cara penyajian yang nyentrik dan lain sebagainya). Kecuali hanya rame karena ada simbol dajjal, dan kebetulan pemiliknya adalah Gibran Rakabuming, publik figur baru di belantara dunia isyu negeri ini. Yah publik figur, putra dari Presiden Indonesia yang tercatat dalam karir poitiknya selalu menorehkan kontroversi pula. Gibran Rakabuming harus mau menjadi publik figur, meskipun publik figur itu hasil dari rentetan perjalanan sang ayah. Tetapi tetap, sejarah akan mencatatnya sebagai publik figur pula. Perkara anak muda ini tahu atau tidak akan konsekwensi atas posisi publik figurnya, inilah yang ingin sedikit saya jelajah.
Melihat gaya kicauan Kaesang di twitter dalam menanggapi serbuan ulah media akibat dari pemasangan simbol dajjal, terasa sekali jika anak ini sudah cukup siap amunisi untuk memberikan pembelaan. Bagi saya tidaklah menarik riuhnya sahutan pro-kontra ini karena tidak ada sesuatu yang baru di sana.
Persis seperti pernyataan Imam Besar Masjid Istiqlah kala menanggapi adanya simbol iluminati yang kotroversi ini. Sedikit saya kutip pernyataan beliau, “masyarakat tidak perlu heran dengan munculnya simbol tersebut. Pasalnya, Protokol Zionisme sudah dirancang sejak 1897, dan semua kejadian itu sudah direncanakan oleh kelompok Yahudi tersebut. Kalau Cuma sekadar seni, saya kira tidak. (Simbol) itu bukan cuma di Indonesia, di mana-mana. Gambar itu merupakan simbol Zionisme. Kalau seni, lebih banyak orang mengenal seni Jawa", (Republika Online, Rabu (6/5) ).
Jelas, simbol ilumiti ini bukanlah hal baru bagi dunia pertempuran idealisme dunia. Menjadi kenyataan pula jika Indonesia sudah termasuki faham zionis ini. Sekitar lima tahun lalu, saya pernah membaca adanya pesta yang diadakan oleh komunitas pengikut faham Zionis ini (kalau tidak salah di sekitaran Kalimantan, sumber tidak saya temukan -pen.) dengan diam-diam. Menjadi sesuatu yang wajar jika di lima tahun kemudian tidak perlu lagi diam-diam.
Jadi jelas, kontroversi yang dicipta oleh Gibran Rakabuming ini bermata dua makna, 1) karena adanya simbol mata satu yang sejatinya memang akan berbuah kontroversi di negeri ini, dan 2) sosok Gibran Rakabuming itu sendiri sebagai ekses publik figurnya.
Untuk saya, ketika kontroversi itu menajam ke simbol iluminiti, menjadi sesuatu yang hambarsaja. Paling-paling ceritanya adanya penolakan dari elemen masyarakat. Ketika ada yang anarkhis karena merasa simbol itu mencederai hal yang diyakini sebagian masyarakat, akan secepatnya menjadi berita dunia. Di dalam negeri, media akan mengekpos besar-besaran sebagai pelanggaran HAM berat. Memanggil empati dunia untuk bereaksi agar segera (bisa-bisa) PBB memberi sanksi. Persis seperti reaksi dunia menanggapi warganya yang akan dieksekusi mati oleh presiden Jokowi. Dari Anggun sampai Ban Ki Mon harus “bersuara menyembah” untuk membatalkan.
Yah, sebuah repetisi gaya gerak yang selalu terjadi, jika hal-hal yang menyangkut barat tercederai di bumi Pertiwi ini. Apalagi pelakunya adalah kaum mayoritas.
Tetapi membidik kontroversi dari sisi seorang Gibran Rakabuming, publik figur, dengan segala atribut yang melekat pada dirinya, menjadi ketakutan tersendiri dalam diri saya. Ada tiga hal yang perlu jadi alasannya :
a.Gibran Rakabuming adalah putra seorang Presiden. Simbol jabatan presiden itu berat. Apapun warna idea seseorang, ketika terposisikan menjadi Presiden, harus berani meletakkan warna itu. Maka, potret pak Jokowi akan lugas dibaca publik lewat pola sang putra. Kontroversi yang bersifat keyakinan semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi keutuhan bangsa. Rentan dengan pemekaran konflik dan penciptaan kondisi radikalisme. Baik radikalisme mereka yang kontra maupun mereka yang pro.
b.Berangkat dari poin a, kontroversi itu akan menjadi memori yang melekat di sebagian besar masyarakat negeri ini. Sangat perlu direnungkan apa yang disampaikan oleh Kyai Slamet Efendi Yusuf sebagai wakil resmi suara MUI, ini kata beliau : “Demi menghindari kontroversi lebih lanjut, meminta agar Gibran untuk segera menghapus gambar tersebut. Gampangnya, sudahlah, Gibran minta pembantunya hapus saja segera gambar itu dan kalau dia tidak mengerti, beri keterangan ke masyarakat bahwa dia tidak mengerti", (Republika, Kamis (7/5).
Kalaupun mas Gibran “bermazhab” simbol itu, selayaknya jangan diproklamirkan saat ini. Ekses itu akan menjadi amunisi lawan politik bapaknya. Akan sangat disayangkan jika penempelan gambar itu hanya sebatas agar populer. Tanpa gambar itupun, nama Gibran Rakabuming yang sudah menusantara itu sangat menjanjikan kepopuleran kafe yang ia dirikan.
Niat mana yang ada di mas (Maaf, saya sering memanggil “mas” kepada murid saya yang nota bene seusia dengan dia) Gibran? Yang tahu hanya dia sendiri dan perjalanan sejarah selanjutnya.
c.Dua poin di atas adalah gambaran sahut menyahutnya kontroversi itu. Jika toh sekarang senyap, bukan berarti berhenti. Maksud saya, memori publik tidak akan mampu dikebiri. Lupa dan dilupakan itu kan hanya dalam tataran ada yang berusaha melupakan atau sengaja dilupakan. Tetapi konsistensi catatan sejarah jika mas Gibran Rakabuming seorang anak Presiden yang mencipta kontroversi tidak akan pernah dilupakan. Apalagi jika kontroversi itu sengaja dicipta karena memang dia berada dalam lingkaran jalur kontroversi itu. Maka akan menjadi pergulatan panjang nantinya. Pergulatan yang sudah terbiasa terjadi sebelum-sebelumnya. Tentu, pergulatan sosok ini dalam memegang ideanya itu akan lain suasananya antara saat masih menjadi “putra Presiden” dengan menjadi “mantan putra Presiden”. Hanya waktu yang bisa menceritakannya.
Sangat layak jika masing-masing penyandang publik figur negeri ini bukan selalu mencipta atau minimal memberi ruang untuk terciptanya kontroversi. Pemberitaan adanya seorang artis yang berinisial AA menjadi pemuas nafsu dengan bayaran mahal telah melumatkan wibawa. Baik wibawa profesi artis itu sendiri maupun wibawa ketinggian norma bangsa ini.
Tulisan ini tak lebih dari ulasan untuk mengihtiari agar simbol wibawa seorang Bapak yang kebetulan ditakdirkan menjadi Presiden negeri ini tidak direpotkan oleh ekses publik figur yang kebetulan publik figur itu adalah putra beliau.
Menatap kerangka tulisan ini dalam konteks kesepahaman sosial dan norma, sangat saya harapkan. Tetapi, ketika dilihat dalam perspektif politik (lebih-lebih dalam nuansa kebencian) maka pasti akan mengandung arti yang perih.
Dajjal dengan segala aspek keburaman makna, bagi negeri ini masih sebuah fakta. Maka jangan katakan jika fakta itu dianggap sebagai penghambat kebebasan. Karena, yang memaknai buramnya dajjal pun punya hak untuk bebas meyakininya.
Memaksa untuk memutihkan makna dajjal, untuk saat ini, di negeri ini, akan mencipta kontroversi. Kontroversi sering melahirkan kesia-siaan, mubazier belaka.
Wallahu’alm bisshawab...
Kertonegoro, 10 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H