Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saling Serang, Ah Biasa! (Tanggapan Dari Tulisan Surat Terbuka Untuk Munarman)

3 Maret 2014   06:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13937771091585494007

Inilah yang enam bulan lalu menjadi prediksi saya, saat itu pasca tragedi penyiraman air teh. Ketika semua opini menyoroti tajam peristiwa itu saya mencoba menulis sebaliknya (lihat http://politik.kompasiana.com/2013/07/01/munarman-logikakan-terbalik-saja-569978.html). Singkatnya, aksi dan reaksi tidak akan pernah terhenti, semakin diserang semakin menyerang, saling serang balik. Sama-sama bertahan dengan alibi masing-masing. Tulisan surat terbuka untuk Munarman yang saya maksud dalam tulisan ini adalah http://politik.kompasiana.com/2014/03/03/surat-terbuka-untuk-munarman-sh-dari-fpi-636761.html, yang berisi tentang balasan atas pernyataan Munarman dan beberapa nama lainnya di sebuah situs.



Gayung bersambut semacam ini adalah biorama kehidupan, akan terus lahir dari waktu ke waktu. Tidak ada pelarangan memang akan gempitanya sahut-sahutan itu. Tema yang dipertentangkan tampaknya juga sulit untuk dipertemukan. Menarik garis tegas akan pihak mana yang benarpun juga sulit diambil, kecuali aturan negara memang bisa menjangkaunya. Jadi, bisa diasumsikan kalau saling melontarkan statemen itu terjadi karena adanya perang persepsi, lebih dalam lagi malah perang faham.

Sebagai masyarakat negara yang telah menunjukkan ketahanannya akan nilai-nilai persatuan dan kesatuan selama puluhan tahun ini, anggap saja saling bersahutan itu sebagai konsekwensi logis dari tarik menariknya kepentingan yang ingin ditanamkan di negeri ini. Maka, sebagai insan yang diberi keluasan analisa (insyaAllah begitu), menjadi greget bagi kita untuk bisa menempatkan peta ketidakharmonisan ini dalam konteks kewajaran saja sebagai warna bias dari sebagian anak bangsa. Tugas utama yang perlu segera dilakukan adalah pemahaman kepada penghuni negeri ini jika Indonesia harus tetap utuh, terjaga persatuannya, berjalan segala hak dan kewajiban warganya.

Diakui atau tidak, selama ini, inti saling balas pernyataan ini selalu menyeret pihak-pihak yang sebenarnya tidak ada kaitannya. Di sinilah justru titik rawannya, penyeretan tema dengan mengatasnamakan apa saja yang itu sebenarnya diluar konteks niatan utama yang diseretnya akan menjadi bola salju dikemudian waktu. Namun, penyeretan inipun tidaklah mengherankan juga, semakin banyak yang menyeret semakin ramai, semakin mengerucut, dan akan semakin tampak wajah aslinya.

Saya lebih percaya pada persepsi jika perang (baik opini, idealisme, faham, maupun kepentingan) adanya hanya di tataran elite belaka. Bukti itu saya temukan dari pernyataan Prof. Didik J Rachbini dalam talkshow di beritasatu yang mengatakan bahwa hasil survey berbanding balik dengan kenyataan yang ada, ini berdasar pengalaman hasil kursi partainya di tahun-tahun sebelumnya. Kantong-kantong suara yang ada di daerah berbanding balik dengan nilai survey yang ada. Lebih menarik lagi, Didik melihat ada keterbalikan fakta lapangan dengan tema-tema yang diusung oleh masing-masing partai. Bukti yang ditemukan oleh beliau adalah semakin bertenggernya tokoh-tokoh yang lebih agamis yang justru berada dalam rumah partai yang mengusung nasionalisme.

Jadi, Sebenarnya tidak perlu dicuatkan sekuatnya ketidakharmonisan yang sering muncul ini. Rakyat sudah cerdas, punya hak penuh untuk memilih asal haknya itu selalu diakomodasi oleh negara. Ketidakharmonisan itu kan hanya lahir dari utak-atik pemikiran elite yang ingin menempatkan posisinya. Fakta selama ini kan juga berbicara, posisi yang telah ditempatinya ini ternyata juga hanya untuk bergaining saja. Konsep-konsep idealisme partai dan faham yang diusungnya ternyata hanya berbicara ditataran awal saja.

Kecerdasan rakyat juga sudah lelah melihat ketidakharmonisan itu. Contoh yang faktual, ketika jilbab dijadikan tema sentral perdebatan antara partai Islam dan partai nasionalis (mungkin juga sekuler), kenyataan lapangan membuktikan bahwa lautan jilbab sulit terbendung. Hal ini bisa diartikan "silahkan kalian (para elite) perdebat soal jilbab, saya sudah punya pilihannya sendiri!", nah. (tiga alinea di atas sebagai rangkuman dari talkshow di TV beritasatu, hari Minggu, 2 Maret 2014 pukul 00.30)

Menyimak dari uraian di atas, tidak perlulah energi kita (kita di sini adalah insan-insan yang dikaruniai sedikit kelebihan menganalisis) untuk euphoria menanggapi setiap letupan dari ekses ketidakharmonisan itu. Justru seharusnya "kita" berani mengambil jarak dari keduanya agar bisa nantinya memberikan sedikit ulasan yang jernih dari fenomena ketidakharmonisan ini. Ikut memikirkan agar terjadi pencairan suasana dari ketidakharmonisan itu. Ikut memberikan pemahaman kepada khalayak jika ketidakharmonisan itu bukanlah hal yang krusial bahkan bisa menjadi pendidikan politik bagi khalayak, bagaiman seharusnya mensikapinya.

Pensikapan semacam ini sangat dibutuhkan bangsa lebih-lebih dalam menyongsong perhelatan akbar. Simpulannya, begitu ada statemen, berita, apalagi gerakan yang itu keluar dari ranah aturan yang ada sikapi dengan wajar, tarik statemen dan berita itu ke koridor aturan yang sudah berlaku. Mengcounter dengan berlebihan akan lebih terjadi resistensi serangan balik lagi. Jika ini terus menerus terjadi maka akan terjadi pembentukan watak yang kurang baik untuk diwariskan ke generasi selanjutnya

Saya sangat yakin, pembunuhan karakter (baik dengan cara kampanye hitam maupun opini pelecehan yang berlebihan) malah menjadi lahan yang subur bagi objek yang disasar untuk (minimal) menyempurnakan apa yang menjadi kebencian yang membulli..

Maka, ketika Munarman keras mengucapkan "cina kapir" (istilah ini saya ambil dari tulisan yang saya tanggapi itu), maka segera diambil kesempatan jika itu bisa menjadi titik-titik penguat akan eksistensi cina itu sendiri. Tetapi begitu dicounter dengan membabi buta, maka yang ada akan semakin gilanya caounter selanjutnya. Lihat juga ketika ada yang mengatakan PKS adalah begini dan begitu lengkap dengan kebencian akan tokohnya, maka sejatinya pun menjadi penguat partai itu untuk membangun kembali apa yang menjadi konten yang dibencikan itu. Tetapi kalau PKS membalas dengan statemen juga maka sekelas itu pula nilai partai ini.

Tetapi, kalau saling menyerang itu memang sudah menjadi watak masing-masing, ya silahkan. Yang jelas saling serang itu memiliki konsekwensi juga, baik konsekwensi moral maupun konsekwensi dari aturan hukum yang ada.

Itulah yang saya baca dari "serunya" saling serang dan perang pernyataan dan opini yang bergejolak selama ini. Dan saya masih yakin negara kita cukup kuat untuk memfasilitasi perang opini. Memberikan kelonggoran aturan sebagai bentuk dari rasa demokrasi tetapi juga siap menjerat mereka jika sudah dianggap membahayakan perjalanan bangsa. Maka jelaslah, apa yang akan diephoriakan lagi? Negara sudah punya aturan yang tegas, rakyat sudah bisa membaca dan memaknai apa yang terbaik untuk mereka, sementara realitasnya memang ada kelompok dan kepentingan yang ingin bisa mendominasi kekuasaan. Maka yang terbaik adalah mengalir saja, beri pencerahan kepada khalayak (bukan malah menyerang bailik). Toh memprovokasi juga akan sia-sia, karena rakyat sudah bisa membaca.

Simpan energi kita untuk lebih menyempurnakan diri dan mereka-mereka yang terdampak resistensi. Menjaga jaga jarak lebih bijaksana, karena akan menjaga kesehatan diri kita. Kecuali bagi mereka yang memang sudah mendeklarasikan diri sebagai pihak yang bermain di dalam ketidakharmonisan itu, dan siap-siap saja untuk menerima serangan balik lainnya.

Kertonegoro, 2 Maret 2014

gambar dari :
Gambar dari : edukasi.kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun