(Renungan Malam Jum'at)
Aku pernah mencintai yang memang harus dicinta. Nikmat rasanya! Tidak ada kebencian apalagi hujatan juga niatan-niatan tak berguna. Cintaku memang tidak mulus, tetapi karena berdasar cinta, aku belum menemukan kebencian yang tiada kira. Entah karena cinta atau memang cinta tidak kenal benci. Maka jika cinta harus membenci, itu bukanlah cinta. Dan, jangan mudah memadukan cinta dengan benci, karena berarti tidak ada cinta di sana atau memang hanya benci adanya.
Cinta tidak selalu identik dengan cumbu dan mesra. Konon, karena cinta lahir dari hasrat ingin memadukan rasa. Maka rasa menggema, bukan selainnya. Konkritnya, ketika mata tertuju pada satu titik kemudian memberi sinyal ke logika untuk mencerna titik tersebut. Cernaan sinyal itu akan menjadi rasa yang seterusnya di olah hati. Pengolahan sinyal oleh hati ini senantiasa melibatkan otak agar penilaian nantinya lengkap tanpa cela.
Dimasukkanlah dalam pengolahan itu, nilai-nilai. Mulai dari nilai yang bersifat normatif semisal etika, aturan agama dan budaya, kebermanfaatan, sampai pada kesintalan, kecantikan, dan gairah diri. Konteks keberpihankan diri dalam proses adalah bunuh diri. Melempangkan norma dengan standard ukuran nilai yang ada hanyalah ingin berrsembunyi. Pengolahan sinyal inilah yang akhirnya menjadi bahan matang yang bernama cinta.
Tingkat kualitas kematangan cinta tergantung siapa yang mengolah dan bagaimana proses cinta itu diolah. "Siapa" dalam hal ini adalah pribadi dengan segala kemampuan pikir dan hatinya. "Proses" berarti seberapa hebat pengolahan itu terjadi.
Rentang menganiaya dalam pergumulan cinta sejatinya nyaris nisbi. Apa lacur manusia lebih menyukai dialeg pikir dalam memaknai cinta. Seakan hati akan terbawa jika digemborkan data-data dunia. Sepertinya cinta adalah seonggok senyum yang dipoles oleh piranti dan kepentingan diri. Bukan cinta, jika putus hanya karena memandang langkah yang ada. Juga bukan cinta jika wibawa rasa dipikul dalam beratnya hitungan data.
Cinta tidak berbatas, maka keberlakuan aturan cinta hanyalah alas. Bertenggernya cinta di setiap peradaban menjadi warna kebesaran pencipta peradaban. Ketika badut-badut cinta bergentayangan, maka peradaban hanyalah sedu sedan. Ketika monyet-monyet asmara dalam keseharian, maka peradaban hanyalah lompatan. Ketika pujangga-pujangga cinta menggemuruhkan rasa, maka terompet peradaban bergerak menuju dewasa. Ketika cinta memakan sesama, maka peradaban hampir bisa dipastikan akan bubar dengan sendirinya.
Aku mencinta ketika badut, monyet, desah pujangga, dan kerakusan telah selesai dicerna. Beradu dan bermusyawarah setiap harinya. Mata lelah, pikir jengah, hati gulana. Terhampiri ribuan bidadari lengkap dengan segerombolan kurcaciuntuk menawarkan makna. Antrian selanjutnya adalah bara, duka, dan lena. Menjanjikan kepastian menurut selera mereka. Aku dalam pusaran karena ingin mencipta cinta. Tetapi cinta yang bermakna, berangkat dari olah rasa dan jiwa lengkap dengan bumbu nilai-nilia ukuran sesama.
Kini, cinta itu telah dewasa. Ketika mengintip di balik jendela, aurora peradaban sedang gempita menganiaya. Maka, cintaku kembali aku sembunyikan untuk nantinya ditelan mentah-mentah, agar tidak menjadi dewa bagi kegersangan langkah dunia. Akan aku keluarkan kembali, cinta itu, setelah yang teraniaya berada pada kesetaraan budaya.
Detik ini cinta itu masih diseputaran lidah, menunggu waktu yang tepat untuk menelannya! Semoga akan segera dikeluarkan kembali. Entah, bila...?!
Tetapi jangan berharap, cinta menjadi ludah!
Catatan :
Dipersilahkan pembaca pemaknai tulisan ini seseleranya, karena aku "harus punya cinta". Padahal di balik jendela, langit tidak lagi memiliki rupa. Besiaplah menelan cinta yang dipunya, agar cinta hanya milik yang merasa!
Kertonegoro, 27 Maret 2014
ilustrasi forgettenplaygrounds.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H