TIPS Menuju TPS
Dan
Pilihan Keluargaku
Dua hari lalu, selepas maghrib sempat terjadi debat kecil-kecilan, kami berlima. Saya sebagai kepala rumah tangga, istri, dan tiga putri saya. Temanya "COBLOS APA dan SIAPA"!. Tertemukan jawabannya meski alot dan lama. Jawaban itu menjadi keputusan keluarga. Picu diskusi berawal dari puluhan sms baik dari seluler saya, istri maupun dua putri saya. Lega rasanya bisa menentukan pilihan keluarga.
Tadi sore harus rapat lagi, untuk menyusun rencana menuju TPS, inilah hasil rapat itu :
1. menyiapkan surat pemberitahuan dari KPPS plus identitas diri,
2. menentukan waktu berangkat ke TPS,
3. karena tempatnya agak jauh, maka diputuskan berangkat 2 rombongan. Pertama, anak sulung saya yang ditemani adiknya. Kedua, saya dan istri dengan si bungsu,
4. pakaian bebas, sopan, tanpa make up yang berlebihan serta menghindari warna yang membuat sangka dan praduga,
5. tidak perlu membawa HP dan barang yang dirasa menjadi perhatian dan kecurigaan,
6. tidak mendiskusikan apapun dengan siapapun selama di TPS, kecuali tegur sapa sewajarnya,
7. Membagi tugas rumah,
8. wajib sarapan dulu dan tidak perlu njajan di jalan,
9. sesegera mungkin berkumpul kembali, melihat hasil cukup lewat media yang ada,
10. mendata dan menghafal bacaan do'a.
Semakin lega, persiapan keluarga untuk menghargai perhelatan negeri ini semakin lengkap di rasa. Cuma ada yang masih mengganjal (heran saja) mengapa diskusi dua hari lalu begitu lalot dan seru! Terjadi kesepakatan pilihan setelah hampir dua jam berdebat, itupun ramainya bukan main. Untung ada gorengan rengginang yang sorenya dibuat istri dan putri kedua saya.
Ohh, baru terjawab sudah kenapa kok sampai alot dan seru, lha wong bungsu saya juga terlibat dalam diskusi itu. Setiap kali ada usulan selalu ditolak si bungsu ini, karena tidak sesuai dengan pilihan yang entah dari siapa dia memiliki keinginan memilih pilihan itu. Ironisnya, tangis dan jeritan adalah senjata pamungkasnya. Lebih gila lagi putri kedua saya yang bertindak jadi notulen harus mencatat pilihannya itu. Usulan istri sampai terakhir usulan saya, yang tertulis di notulen, hanya satu nama, ya nama itu saja. Siapa? Yaitu teman SMP saya yang gambarnya ada di depan rumah di seberang jalan. Asal tahu saja, seminggu lalu sekeluarga, saya ajak silaturahmi ke dia sambil memberikan semangat ke teman saya itu. Baru ingat saya, hari itu bungsu saya memang penuh di manja oleh teman saya.
Makanya amburadul diskusi itu, lha wong yang ada teriakan jerit tangis si bungsu ini. Apakah keluarga saya memilih teman saya itu? Harus memutuskan pilihan berdasarkan ribut tangis dan teriakan si bungsu? Seingat saya, ada dua notulen keputusan, satu tertulis nama yang direngeki si bungsu, satu lagi yang tercatat di memori dan hati saya, istri, dan putri sulung kami. Diskusi selesai, dengan kelelahan luar biasa dan omelan gemes dua putri dewasa saya, sementara si bungsu terlelap nikmatnya di pangkuan saya. Hampir 15 menit lalu dia terlelap menikmati usap lembut tanganku di punggungnya.
Lega rasanya, diskusi itu usai juga, meski begitu ributnya oleh bungsu saya, yang masih TK. Yah, dimaklumi saja, meski selalu membuat ribut karena pilihannya. Namanya juga anak kecil, tahunya asal dan harus......
Selamat mencoblos Indonesia, telah tergenggam tiga suara pilihan keluarga dalam memori dan hati kami dengan penuh keihlasan untuk kebaikan bangsa.
Kertonegoro, 8 April 2014
Ilustrasi http://intisari.online.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H